Di Balik Kisah Sukses La Galigo


PERTEMANANKU dengan Puang Matoa Saidi terjadi pada April 2011. Saya mengunjunginya di rumah Arajange di Segeri Kabupaten Pangkep. Rumah itu dikelilingi pagar tinggi, halaman yang luas dengan hamparan rumput mirip lapangan.
Puang Saidi begitu dia dikenal. Seorang bissu atau pendeta Bugis zaman dulu yang sekarang masih bertahan. Pertemuan pertama itu ternyata membawaku dalam cerita yang panjang. Hingga pada 23-24 April 2011, naskah panjang  yang konon melebihi panjang epos Mahabharata yang hanya 200.000 baris, sementara Sureq I La Galigo mencapai 300.000 baris di pentaskan di Benteng Fort Rotterdam Makassar.
I La Galigo begitu judul pementasan teater, tari, dan musik yang disutradarai Robert Wilson. Epos masyarakat Bugis itu dihidupkan dalam lakon sekira tiga jam. Puang Saidi menjadi salah satu tokoh sentral dalam pementasan itu. Meski hanya duduk di bagian depan panggung, tapi dialah yang menjadi pengantar dan penyambung cerita dari bacaan sureq-nya yang mengalun dengan indah. Cengkok bugis dan irama seperti alunan musik.
Sebelum hari pementasan itu, saya bertemu dengannya di Hotel Makassar Golden Hotel (MGH) di kamar yang disiapkan panitia pementasan dari Yayasan Bali Purnati. Lantai dua. Sederhana dan bukan kamar spesial. Saya tak memberitahunya bila komposer musiknya Rahayu Supanggah dan beberapa lainnya, termasuk Robert Wilson hingga Restu dari Bali Purnati menginapnya di Hotel Aryaduta yang lebih baik dan mewah dibanding MGH.
Puang Matoa Saidi 2004.
Puang Saidi adalah seorang ahli spiritual dan pelaku seni. Dia mengerti dan mampu membaca sureq Galigo yang minta ribetnya dengan bahasa Bugis dulu. Menurut catatan orang yang mampu membaca naskah itu tak sampai 50 orang di seluruh dunia. Salah satunya adalah Puang Saidi dan Muhammad Salim (alm.).
Muhammad Salim berkawan juga dengan Puang Saidi. Sayangnya saya tak sempat bertemu dengan Salim dan dia keburu meninggal dunia. Tapi Puang Saidi sudah punya firasat sebelumnya.
Dari kasurnya di kamar Hotel MGH, dia berbaring dengan telanjang dada. Badannya begitu kurus dan rambut yang panjang, tipis dan hitam. Bibirnya gemetar bila mengucap kata. Ada bungkusan obat di meja sisi tempat tidur itu. “Hampir ka mati nak,” katanya memulai pembicaraan.
Saya senang dia memanggilku ‘nak’ atau ‘anak’. Meski itu adalah panggilan orang tua ke lawan bicara yang jauh lebih muda dari dirinya. Ceritanya, ketika berangkat dari Segeri, menggunakan sebuah angkutan umum, dia membawa beberapa peralatan yang menjadi koleksinya sebagai seorang bissu. Karena kelelahan dia berbaring ketika tiba di MGH. Peralatan-peralatan itulah yang pada hari pementasan dipamerkan.
Saat selesai berbaring dan merasa diri lebih enak, dia masuk ke kamar mandi. Tiba-tiba dalam kamar mandi hotel yang terang benderang itu menjadi gelap. Gelap sekali. Puang Saidi sadar ada yang tak beres dengannya. Kepalanya kemudian terasa berat dan badannya mulai kaku. Lidahnya kaku dan dia menggapai ranjang dengan berjalan mengesot. Mungkin dia pingsan beberapa saat sebelum menelpon keluarganya.
Beberapa jam setelah dia siuman, saya menanyakan kabarnya. Tak membalas sms, dia malah menelpon. Dia cerita dengan suara yang berat dan lemah. Sakit inti ceritanya.
Saya bergegas ke MGH. Dan di ranjang itulah dia berbaring, dengan kepala yang diberi handuk basah.

BERKALI-KALI dia ucapkan kata Allah (Puang La Ta'ala), Opunna Ware (Sawerigading tokoh dalam I La Galigo). “Saya kira mau ma mati, nak,” katanya pelan.
Pelan-pelan dibuatkannya kata-kata untuk menceritakan apa yang terjadi dengannya. Bahasa Indonesia campur Bugis. Pertama dengan nada datar dia bercerita kilas balik tentang pementasan I La Galigo yang sejak tahun 2003 mulai dibincangkan dan keliling dunia. 
Adalah Restu Imansari Kusumaningrum yang pertama kali dia sebut. Seorang direktur kreatif Yayasan Bali Purnati yang menjadi event organiser pertunjukan I La Galigo sejak 2003 hingga ke Makassar 2011. Menurut Saidi, Restu sebagai perantara dan koordinator pemain adalah orang bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan.
Sebelum berangkat mengarungi belahan Erorpa dan Amerika membawa karya Robert Wilson, Restu menjanjikan upacara syukuran pa'bissuan di Sulawesi Selatan bila telah menginjak dua negara. Janji itu ditawarkannya pada Saidi dengan simbolis air. “Air itu masih saya simpan sekarang. Masih ada nak itu air,” kata Saidi.
Namun, janji itu hanya sebuah ungkapan lidah yang tak pernah bisa dibuktikan. Tahun 2005, ketika I La Galigo kembali ke Indonesia dan bermain di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Saidi mengingatkan janji itu. Restu hanya terdiam.
Nah ketika, Mak Coppong meninggal pada akhir tahun 2010, Saidi mengingat nazar pementasan dari Restu. Tak ada pilihan lain. Dia menceritakannya pada Restu dan kembali tak ada tanggapan.
Sebuah isyarat, dari alam lain. Bila akan ada lagi tokoh I La Galigo yang akan menyusul. Dan pada 27 Maret 2011 sebulan sebelum pementasan I La Galigo di Makassar, penerjamah sureq Galigo, Muhammad Salim menghembuskan nafas terakhir.
Dan ketika, apa yang dialami Saidi di hotel MGH pada 19 April 2011 itu dia menyangka dirinya lah yang menjadi giliran. “Mungkin saja nak,” katanya.
Tapi kekhawatiran itu begitu hingga sekarang tak terbukti. Tapi kesehatannya mulai teranggu. Dalam penglihatan dan penafsiran secara logika, dengan meninggalkan cerita mistis, Saidi sakit karena kelelahan. Terlalu banyak kegiatan.

BEBERAPA hari setelah baikan, dia mulai ikut latihan dengan kawan-kawan pementasan lainnya di gedung PKK Makassar. Hanya dua hari saja. Lalu kembali terbaring di rumah sakit Akademis. Kini tangannya sudah ditembus selang infus. Beberapa orang mengunjunginya.
Dan pementasan I La Galigo berjalan dengan baik, meski terdapat beberapa kekurangan. Saidi melakonkan bagian tokohnya dengan baik, meski dengan suara yang berat.
Hampir sebulan ketika orang-orang hanya mengenang dan bercerita tentang pementasan I La Galigo di warung-warung kopi dan kampus-kampus. Puluhan kilometer dari Makassar, tepatnya di Segeri, Saidi kembali terserang sakit. Dia menggigil dan deman. Gemetaran. Keluarganya memberi perawatan di rumah.
Seorang kawan lama Saidi yang peduli dengan perkembangan seni di Sulsel, Asdar Muis yang dalam perjalanan ke daerah melewati Segeri mengunjunginya. Dia melihat kondisi Saidi, tapi tetap melanjutkan perjalanan karena memang ada kegiatan. Niatnya, saat pulang dia akan mampir kembali melihat keadaan Saidi. Tapi alangkah terkejutnya Asdar, ketika mendapati Saidi terbaring di sebuah Puskesmas. “Saya tak tega,” katanya ketika saya bertemu dengannya di Rumah Sakit Wahidin Makassar, pekan lalu.
Saidi lalu di boyong ke Rumah Sakit Daya. Keadaannya kurang baik dan harus mendapat pertolongan dengan segera. Sesampai di RS Daya diagnosa awal dokter adalah tifus dan anemia akut. Ketika saya mengunjunginya pada sebuah siang, di lantai empat RS Daya tempatnya dirawat inap, sudah tiga kantong darah yang memasuki tubuhnya melalui selang yang menancap di pergelangan. Saidi berdarah O.
Saidi lahir pada tahun 1950-an, dia tak ingat bulan dan tanggalnya. Dan dalam keadaan seperti itu, saya kembali bertemu dengannya. Makannya disuapi seorang kerabatnya, matanya hanya sesekali terbuka. Dia mulai tak mengenali orang. Suara yang keluar begitu pelan untuk mendengarnya harus mendekatkan kuping ke telinganya, begitu pula sebaliknya ketika menanyakan sesuatu padanya.
Tiba-tiba semua makanan yang disuapinya dimuntahkan kembali. Lengan kanannya dipenuhi bekas muntahan. Saya dan Sartika yang mengunjunginya begitu kaget. Beberapa kekalutan kami lakukan bersama kerabat lainnya. Saya menyambut tisu, tika mengambil air dari bak mandi dengan gayung merah.
Lalu, saya memanggil suster atau petugas jaga. Dan setelah petugas itu sampai di kamar inap, dia bertanya, apakah obat anti muntah sudah diminum sebelum makan. Walah mak, itu yang terlupa. Perawat lainya datang, membawa perlatannya dan memeriksa tekanan darah. Sangat rendah. 90 per 60.
Sartika menghancurkan tablet di sebuah sendok. Sampai begitu cair, lalu menyuapi Saidi. Seraya memberinya tegukan air hangat.
Beberapa saat kemudian, keadaan mulai tenang. Baju dan pakaian Saidi sudah diganti dari bekas muntahan. Tiba-tiba dering telpon Saidi berbunyi, nama yang tertulis dan memanggil adalah JK. Apakah itu JK.
Adik iparnya mengangkat dan menyapanya dengan kata Puang. Beberapa kali saya mendengar kata, “Iye, Puang.”
Ternyata suara JK dari balik telepon itu meminta Saidi dipindahkan ke rumah sakit Wahidin. Sukirman, nama adik ipar Saidi itu berlari ke petugas jaga. Memintanya bercerita dengan orang yang menelpon. Dan semua di ACC-kan. Saidi akan diboyong ke Wahidin.
Empat kerabat Saidi yang menjaga, tiga laki-laki dan seorang perempuan menghampirinya. Menceritakannya perihal telepon tadi. Mereka saling memberi semangat. Dalam bahasa Bugis. Setidaknya yang kutangkap adalah kegembiraan karena ada yang mengulurkan bantuan, memindahkan ke rumah sakit besar. Lalu kerabat yang perempuan mengeluarkan suara sesengukan, air mata, tanda haru. Kerabat laki-laki pun demikian.
“Apakah benar itu JK (Yusuf Kalla),” kataku.
“Iye. Saya tahu suaranya,” kata Sukirman.
Petugas rumah sakit Daya pun datang. Saya menanyakan perihal itu. Dan jawabannya semua sudah di atur. “Siapa dokter atau yang bertnggungjawab menjemput nanti di Wahidin,” kataku.
“Itu semua sudah selesai,” jawab sang petugas.
“Siap-siap maki, satu jam lagi Ambulance siap,” lanjutnya.
Kerabat pun bergegas. Mengumpulkan semua peralatan yang dibawa ke rumah sakit. Ada sarung dan selimut, tanpa tas. Hanya dibungkus pula dengan sarung.
Sartika menemaninya di atas ambulans dan seorang kerabat lainnya. Dan dua petugas rumah sakit Daya. Saya menyusul dengan motor. Hanya butuh beberapa menit, Saidi sudah berada di ruangan UGD RS Wahidin. Tak ada yang menjemput.
Petugas rumah sakit Daya pun pulang dengan ambulans. Saya saya tak tahu harus bagaimana, ini adalah pengalaman pertama membawa orang ke rumah sakit. Si JK yang tadi menelepon juga tak ada kabar, pesannya hanya bilang; coba koordinasikan dengan Kadis Kesehatan Provinsi.
Sudah beberapa jam Saidi terbaring. Belum ada tanda-tanda harus bagaimana. Dan apakah Saidi akan dirawat di ruangan kelas atau hanya di bangsal, mengingat dirinya sebagai aset budaya Sulsel?
Saya menelpon wartawan The Jakarta Post di Makassar, Hajra Murni. Dia datang dengan seorang kawan dari Tempo Makassar. Dia menelpon banyak orang dan memnta bantuan untuk Saidi.
Setelah itu melihat nomor kontak JK yang ada dalam hand phone Saidi lalu mencocokkannya dengan nomor kontak JK yang ada di hp-nya sendiri. Tidak cocok. Hajra curiga itu bukan JK (Yusuf Kalla) yang dimaksudnya.
Diteleponnya nomor JK yang pertama itu. Seseorang dengan suara yang agak angkuh mengangkat. Saya bercerita pertama kali, dan mengatakan; bapak siapa? “Ndak perlu tahu,” jawabnya.
Saya bingung, hape kuberikan ke Hajra dan dia bertengkar lewat telepon. Jelas dia bukan JK (Yusuf Kalla) yang diharapkan keluarga. Tapi semua sudah telat, Saidi sudah ada di UGD Wahidin sejak pukul 14.00 dan grusak-grusuk mengurus dan menelopon beberapa kolega, akhirnya dapat kamar di ruangan Infection Centre lantai 1 kamar 2.
Saidi dipindahkan ke ruangan itu sekitar pukul 20.00. Dan semua keluarga kembali lega meski masih berpikir akan biaya rumah sakit. Asdar Muis bilang, semoga ada teman-teman yang mengulurkan bantuan. Hajra, saya, dan Sartika juga berharap demikian. 


(Eko Rusdianto)
Catatan: Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan ER tentang kondisi Puang Saidi pasca-pentas.

Leave a Response