Yang Lahir di Bulan Desember

foto: http://efekrumahkaca23.blogspot.com/

“Biar badai sekali pun, saya tetap berangkat menonton Efek Rumah Kaca!”

Awan mendung menggantung di langit malam. Sesekali gerimis. Di jalan raya sekitaran daerah Abdullah Daeng Sirua macet. “Kita jalan kaki saja kalau begitu!” kata saya kepada beberapa teman.

Mereka terlihat ogah-ogahan menanggapi. Ini semakin membuatku cemas. “Kalau sampai pukul sembilan malam mereka belum juga bersiap berangkat, saya akan berangkat sendiri!” batin saya.

Saya coba ‘memanasi’ mereka. Saya berdiri dan berlagak sudah tak sabar dan memperlihatkan tingkah ‘merajuk’. Kak Ancu, senior saya, yang berbaring di kamar, saya bangunkan. “Pergi duluanlah. Nanti saya menyusul!” Ah, saya harus menghentikan usaha ‘merajuk’ ini. Satu-satunya pilihan tersisa: memaksa Bondan. Bondan mengiyakan.

Kami pun berangkat. Gerimis sepanjang perjalanan. Karena macet, kami lewati ‘jalan tikus’: Jalan Ance Daeng Ngoyo. Yah, sama saja. Kedua jalur penuh kendaraan. Jalanannya pun berlubang. “Wah, ini sih sungai namanya,” kata Bondan.

Jelang pukul sembilan kami tiba. Kami parkir di depan rumah mewah bertingkat dua. Tempat acara berlangsung di jalur seberang. Kami segera mendekat. Kami berteduh di bawah pohon yang menghiasi pembatas jalan. Di sana juga banyak orang berdiri menonton. Saya bertemu beberapa junior saya di Fakultas Ilmu Budaya Unhas. Saya berbincang-bincang dengan mereka. Musik dari salah satu band pembuka menyegarkan percakapan. Dan sekaleng bir dingin yang disesap bersama-sama menyegarkan tubuh dari udara malam.

Ada beberapa band pembuka. Aku mendapati band pembuka: The Finalis. Seorang junior saya bilang, namanya demikian karena ketiga personelnya merupakan para pemenang festival yang diadakan oleh Yamaha. Sebetulnya ada empat personel. Tapi keyboardisnya tak datang--entah berhalangan apa. Malam itu, ada beberapa lagu yang dinyanyikan. Dua lagu terakhir adalah ciptaan mereka. Vokalis sekaligus bassistnya jangkung, berkaca mata. Si gitaris berambut gondrong keriting. Aku paling senang menyaksikan permainan drum. Drummernya memakai baju kaos hitam lengan pendek. Kulitnya hitam manis. Wajahnya kalem. Seksi. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Ia perempuan keren. Hehehe!

Permainan mereka berlangsung nyaris setengah jam. Saya berfirasat, sepertinya ini akan menjadi band pembuka terakhir. Dan saya benar. Setelah pengumuman pemenang kuis dari pihak penyelenggara, para personel ERK pun dipanggil naik ke panggung. Di depan panggung berdiri empat tenda putih yang berbaris rapat. Atapnya bertuliskan satu merk rokok. Di bawahnya penuh sesak.

Kholil, sang vokalis, pakai baju kemeja panjang garis hitam-putih yang lengannya tak digulung. Basisnya pakai switer garis merah-hijau. Drummernya, si Akbar, saya tak tahu ia mengenakan pakaian apa. Sepertinya switer juga.

Saya lihat jam di hape: pukul 21.49. Inilah detik awal adrenalin saya dipacu lagu-lagu ERK hingga terakhir. Inilah awal di bulan Desember di mana segala risau terhadap segala macam hal yang menggempur otakku tumpah, mencair, menguap bersama udara malam, dan melahirkan sesuatu yang benar-benar baru. Ini terkesan sentimental: tapi itulah kenyataan yang harus saya katakan!

MALAM itu ada 16 lagu yang dibawakan ERK selama kurang lebih dua jam. ERK tampil dalam acara CHAMBERS YEAR END SALE 2011, 30 Desember 2011 di Chambers Shop, Boulevard Panakkukang. Tiga lagu pertama saya belum beranjak dari tempat. Tapi antusiasme untuk bernyanyi saya begitu besar. Antusiasme menggebu-gebu itu hanya cocok jika kita berada 2-4 meter dari bibir panggung. Saya ajak beberapa teman di sekeliling saya untuk mendekat ke bawah tenda. “Di sini saja, bisa kelihatan para personelnya.”

Ya sudah, saya tinggalkan mereka. Saya langsung menuju bawah tenda. Cocok sekali! Saya senang dengan orang-orang yang berada di bawah tenda ini. Mereka bernyanyi dengan begitu bergairah. Bagi mereka yang mungkin tak suka kebisingan sound speaker, atau malah tak bisa menikmati lagu ERK dari dekat, dengan sendirinya keluar dari sana. Ini sekaligus memberi ruang untukku semakin mendekatkan ke kiri panggung. Posisi terakhirku berjarak 3 meter dari panggung. Itu posisi yang pas bagiku.

Seluruh tenda penuh sesak. Aku berada di tenda kedua dari kanan, searah panggung. Anak-anak muda—saya menaksir mereka masih usia sekolah (SMA) atau juga mahasiswa baru—begitu riuh bernyanyi. Hanya ada beberapa yang membawa ‘gandengan’.

Di kedua sisi panggung ramai berdiri orang-orang memegang kamera besar. Mungkin kalangan wartawan. Sesekali mereka mengarahkan kamera kepada ketiga personel ERK, lalu ke arah penonton yang paling bergairah bernyanyi dan melompat.

Penonton di bawah tenda juga tak kalah. Mereka memotret pakai handphone. Ada juga yang merekam. Aku tak merekam atau pun memotret aksi ERK, sejak liur bocah laki-laki usia satu tahun membanjiri lensa-potret hapeku. Jadi apa yang kulakukan? Setiap di awal lagu, aku langsung mengetik judulnya. Yah, sebagai penggemar fanatik lagu-lagu mereka, jelas aku hafal setiap nada awal lagu. Makanya aku tahu jumlah lagu yang dinyanyikan mereka malam itu. Aku yakin, di antara para penonton di bawah tenda itu tak ada yang semilitan aku. Tanya mereka berapa lagu yang dibawakan ERK malam itu, mereka tak bakal tahu. Halah!

Jika saya pilah-pilah jenis ke-16 lagu itu, maka ada tiga tema yang ditampilkan: kritik sosial-politik-budaya, perenungan hidup dan individu, dan soal cinta. Jika mau didetailkan lagi, maka pemilahannya seperti ini: kritik sosial-politik-budaya [Mosi Tidak Percaya, Hilang, Di Udara, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap di Sana, Lagu Cinta Melulu, dan Kenakalan Remaja di Era Informatika]; perenungan hidup dan individu [Balerina, Melankolia, Sebelah Mata, Hujan Jangan Marah, Kamar Gelap, dan Desember]; dan soal cinta [Jatuh Cinta Itu Biasa Saja, Sepi, dan Aku dan Kau Menuju Ruang Hampa]. Keenambelas lagu itu dari album pertama dan kedua. Satu nomor mereka ambil dari album baru yang rencana diluncurkan 2012: Hilang.

Sejauh saya mendengar ERK, ketiga tema tersebut di atas biasanya dibungkus dengan irama musik yang berbeda. Untuk lagu bertema sosial-budaya-politik, biasanya lebih menghentak, aroma pop-rock kental, selalu mampu mengajak tubuh bergerak, bahkan berjingkrak, jika mendengarnya. Simak saja Mosi Tidak Percaya, Di Udara, dan Banyak Asap di Sana. Banyak bagian dari lagu-lagu itu yang memprovokasi tubuh kita meloncat girang. Lagu-lagu itu seperti menyulap tanah pijakan menjadi trampolin. Terkecuali lagu Jangan Bakar Buku yang bertempo lambat. Tapi lagu ini kritik politiknya sangat kental. Ia respons terhadap aksi pembakaran buku-buku sejarah oleh Kejaksaan akhir 2009 silam.

Sementara untuk lagu bertema perenungan, biasanya disertai paduan alunan gitar-bas-drum yang terkesan datar tapi nikmat di telinga, sulit untuk tidak mengangguk-anggukkan kepala saat menyimak lirik-liriknya. Saya dibawa masuk ke dalam perenungan hidup yang dalam makna. Jika kau mendengar Balerina, kau akan menarik hikmah bahwa hidup ini harus dijalani dengan penuh perjuangan, tak boleh putus asa, menghimpun energi dari cerita-cerita inspiratif, ya seperti tarian balerina yang begitu lentur, seperti ngelantur, bergerak maju begitu berirama. Lagu-lagu perenungan individu juga tak kalah menariknya. Dengar saja Sebelah Mata. Lagu ini diciptakan sendiri oleh sang Basis, Adrian. Sekaligus menceritakan sakit retinitis pigmentosa, yang menyerang matanya. Adrian mencoba mencari hal indah dari deritanya. Saya seolah merasakan kesakitan yang diderita si Adrian. Sungguh tak mudah menurutku menyemangati diri dan mencari sesuatu yang positif di tengah kondisi diri yang sakit dan lemah. Dan sekarang si Adrian tak lagi main bas, digantikan si Popi, laki-laki jangkung berambut gaya mangkok soto banjar.

Tapi ada juga dari lagu bertemakan perenungan yang nyaris terjebak ke dalam kesuraman nada, dengan pukulan pada kunci gitar yang seolah berlomba dengan gumaman dan teriakan Kholil, sang vokalis. Kesuraman plus teriakan itu terasa sekali padaku saat mendengar Hujan Jangan Marah. Awal-awal lagu membawaku menuju suasana yang muram, namun menjadi begitu ‘menakutkan’ sehingga bulu kudukku merinding ketika tiba pada akhir lagu. Kholil teriak lantang, “Hujaaaaaan jangaaaan maraaaaaahhh…” Dahsyat!

Pada lagu bertemakan cinta, menurutku tak ada nada musik khas. Kecuali pada liriknya yang tak mengajak kita bercengeng-cengeng ria. Lagian lagu cinta malam itu hanya tiga. Yah, meski mereka berusaha menciptakan lirik cinta yang ‘tak biasa’, tapi menurutku itu belum benar-benar berhasil. Romantisme individu dalam lingkaran asmara sepasang kekasih belum benar-benar hadir sebagai satu lagu yang tersimpan di kepala. Romantisme yang begitu dalam justru hadir dalam lagu-lagu perenungannya akan persoalan hidup, sampai hal-hal ‘renik’ dan remeh-temeh macam hujan, penyakit katarak, cemara yang pucat dan hal ‘renik’ lainnya.

Dan malam itu sungguh tak satu pun lirik dan bait yang alpa terucap dari mulutku. Meski suaraku nyaris habis, mulutku terus saja bergerak mengucapkan baris-baris bait lagu. Tak pedulu hujan di luar tenda, tak peduli rembesan air hujan yang menetes di pinggir atap tenda, aku terus berjingkrak dan menggerak-gerakkan pelan tubuhku. Keringat mengucur, semangat pun tak berhenti mengucur. Mereka saling berlomba mengucur…

SEPULANG dari menonton, aku baru menyadari suaraku serak, nyaris tak terdengar jelas. Bahkan saat menyahut seorang polisi perintis yang garang, yang berhenti tiba-tiba di hadapanku dan menuduhku dan teman-teman sengaja menggelindingkan botol bir kosong tepat di hadapannya. “Itu botol jatuh sendiri, Pak! Serius!” kataku dengan serak. Bondan pun memungut botol itu yang nyaris dilindas sebuah taksi. Polisi perintis itu pun berlalu pergi…
Lalu apa yang tersisa setelah menonton Efek Rumah Kaca?

Tanpa bermaksud bersikap sentimental, terus terang ‘suara’ku yang tertahan beberapa bulan terakhir tumpah tak terbendung malam itu. Suara dari kemarahan akan kondisi sosial dan politik setahun terakhir. Aku tak bermakud sok heroik. Kupikir semua orang merasakan hal ini. Di jejaring sosial, orang ramai-ramai mengutuk banyak hal. Berita-berita tentang korban ketidakadilan menyesaki laman web dan koran-koran. Karena aktivitasku yang tengah menjalankan sebuah program di desa, otomatis berita-berita terlambat tiba padaku. Teman-teman yang peduli bahkan terlibat dalam proses advokasi sering kali mengirimku kabar itu via pesan pendek.

Jadi ketika aku ikut bernyanyi dengan lantang dan loncatan tubuh di tanah malam itu, aku sepenuh hati mengikutkan suara hatiku di sana. Aku tak peduli apakah aku bisa melihat wajah para personelnya, toh aku datang untuk merasakan gravitasi musik mereka. Meresapi dan menghayati setiap lirik lagu. Bukan melihat aksi mereka secara individu.

Saat menyanyikan Udara, aku benar-benar mengingat Munir, aktivis HAM yang diracun di udara, di atas pesawat terbang. Dalam lagu itu aku juga terkenang Sondang Hutagalung, pemuda usia 20-an yang membakar diri dan menjadi martir. Saat aku menyanyikan Hilang, aku turut teringat para aktivis Reformasi 98 yang diculik rezim Orde Baru. Ingatan saya tertaut pada berita baru-baru ini, dan sampai sekarang masih hangat, tentang masyarakat di Bima yang mati tertembak dan terluka hanya karena mempertahankan hak mereka yang dirampas perusahaan tambang. Saat menyanyikan Mosi Tidak Percaya, aku seperti ikut menyenandungkan sebuah manifesto akan ketidakpercayaan terhadap rezim hari ini.

Semua lagu yang kuikuti nada dan liriknya, semampunya aku hadirkan semua hal yang membuatku marah, geram, tertawa, gembira dan menangis. Dan ERK telah menjembatani semua itu lewat lirik-liriknya yang politis, liris, puitis, romantic. Semua rasa itu ada yang hilang di udara malam, ada yang terbakar di ruang hampa, dan ada yang terlahir bersama hujan Desember.

Semoga tahun baru nanti ada banyak cinta yang lebih murni. Salamku untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih adil. [Dedy Ahmad Hermansyah]

DISTORSI OBJEK DALAM SENI LUKIS

(Tinjauan Kritis atas Strategi Artistik Penciptaan Seni)

Dunia seni telah menjadi kompetitif dan eksploitatif, dan bahwa fokus
di dunia seni hanyalah pencarian keuntungan. Tidak hanya ini, untuk membatasi ekspresi artistik, mereka mengabaikan perhatian penting seni,
yaitu estetika dan etika. - Suzi Gablik

Big Sale, karya Tjokorda Bagus Wiratmaja (dokumentasi: Firman Djamil)

Penciptaan seni yang mengambil Lingkungan Alam sebagai fokus penciptaan bagi seniman merupakan fokus yang sangat menarik dan menginspirasi. Fenomena alam melalui  peristiwa-peristiwabaik yang diakibatkan oleh ritual alami melalui peristiwa alam yang menimbulkan bencana, maupun yang diakibatkan oleh intervensi manusia melalui eksploitasi—yang memberi konsekuensi kerusakan lingkungan. Baru saja kita semua mengalami masa naas letusan Merapi. Begitu juga dengan peristiwa Lumpur Sidoarjo yang diakibatkan oleh kelalaian manusia. Perusakan akibat eksploitasi hutan Indonesia (illegal logging) dan penguasaan Hak Atas Hutan oleh korporasi, sangat mempengaruhi iklim global karena hutan Indonesia (di samping hutan Brazil) merupakan penyokong nafas dunia lewat produksi O2 dan juga sebagai fungsinya sebagai menampung air dan menyerap efek rumah kaca. Hal lain yang menjadi masalah lingkungan di Indonesia adalah masyarakat konsumerisme yang menjalar sampai ke desa-desa. Konsumerisme memproduksi jutaan meter kubik sampah kemasan plastik tiap hari yang bermasalah pada ekologi.

Wacana di atas ditangkap oleh Tjokorda Bagus Wiratmaja sebagai fenomena yang dapat menjadi sumber inspirasi penciptaan karya seni lukisnya. Karya lukisan Tjokorda Bagus Wiratmaja yang bertema “Distorsi Objek Dalam Seni Lukis”, salah satu yang dibahas pada seminar Penciptaan Seni II pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2010 lalu.

Dalam proses penciptaannya, Tjokorda mencoba mengamati fenomena alam tersebut yang memfokuskan pada kerusakan alam dan dampak sosialnya. Berdasarkan pengalaman empirik dan pengamatannya melalui media informasi, seperti siaran TV dan dokumentasi melalui rekaman DVD-Discovery Channel, Tjokorda menangkap kemungkinan artistik melalui distorsi bentuk pada objek-objek yang diamatinya. Distorsi bentuk tersebut akan diterjemahkan melalui interprestasi artistik untuk mewujudkan bentuk abstraksi ke dalam karya lukisnya.

Salah satu hasil karya Tjokorda berjudul “Big Sale”, merupakan karya yang tercipta dari hasil pengamatan atas kerusakan habitat Harimau. Tjokorda menangkap momentum artistik Harimau melalui belang kulitnya. Belang kulit Harimau ini di visualisasikan di atas kanvas melalui elemen garis, bentuk, warna, tekstur dan bentuk dalam irama ekspresif. Tjokorda menggunakan pula teknik palet sebagai upaya mengorganisir keutuhan visual yang harmoni. Selain itu, dalam pencapaian estetiknya, Tjokorda mempertimbangkan pula aspek proporsi, komposisi, volume terang-gelap, dan keseimbangan untuk mendekati konsep distorsi bentuk yang dikehendakinya, seperti pada makalah yang dituliskannya dalam konsep perwujudan karya.

Dalam menyimak pencapaian artistik karya-karya Tjokorda, pencapaian aspek visual terutama pada dukungan teknik palet dan eksplorasi medium cat pada kanvasnya tampaknya memiliki keunggulan tersendiri dari segi kualitas material. Namun dalam hal yang merujuk pada aspek penting penciptaan lain seperti visi seorang seniman dalam pencapaian estetik dan etika, yang diusung dalam berbagai pendekatan metodologi, konsep dan tujuan penciptaan masih harus didiskusikan lebih lanjut. Dalam strategi artistik seni lukis yang mengandalkan bentuk, warna, komposisi, dan tekstur, apakah cukup memiliki strategi dalam menjembatani visi seninya untuk memenuhi tanggung jawabnya bila menyertakan subject-matter pada  aspek alam dan lingkungan?

Sementara dalam perspektif penciptaan seni dan lingkungan yang dijadikan banyak seniman sebagai sumber penciptaan, hal terpenting yang menyertainya adalah aspek tanggung jawab yang berhubungan langsung dengan dilema persoalan lingkungan. Aspek tanggung jawab ini menjadi motif utama dalam penciptaan seni lingkungan mengalahkan aspek estetik maupun artistik lainnya yang ada pada penciptaan seni dalam bingkai modernisme.

Dalam penggunaan medium seni, Linda Weintraub dalam The Message of the Medium, Avant-Guardians: Ecology and Art at the Cultural Frontier-2006 yang dipublikasi oleh Greenmuseum.com mengemukakan: “Perpindahan pesan seni yang biasanya dianggap berasal dari medium fisik, estetika, dan kualitas metaforik, Seniman menambah kualitas keempat - dampak lingkungan dan sosial dari pemanfaatan media”. Misalnya, apa dampak lingkungan dari manipulasi media? Apa dampak lingkungan dari karya seni yang dibuat dari media yang digunakan? Pesan ekologis dari pandangan Weintraub ini, menyampaikan secara khusus antara hubungan karya seni dengan basis sumber daya alam sebagai subject-matternya. Dan dalam penciptaan seni lukis apakah harus menyertakan kulit harimau sebagai bagian material yang digunakan pada proses penciptaan karya?

Penciptaan seni lingkungan memiliki karakteristik yang spesifik dalam metodologi dan strategi penciptaan karena berhubungan dengan sikap artistik seniman dalam menciptakan perubahan nilai yang tengah diperjuangkan sebagai agenda perubahan. Cara pandang estetik seni lingkungan justru berlawanan dengan prinsip-prinsip seni modern.

Cara pandang yang berlawanan ini dapat dipahami melalui Suzi Gablik. Gablik adalah seorang filsuf, kritikus, kurator seni dan penulis yang telah menulis buku Has Modernism Failed?(2004). Gablik menyatakan: “Ketika saya pertama kali mulai menulis Has Modernism Failed? lebih dari dua puluh tahun yang lalu, apa yang saya ingin eksplorasi adalah relevansi nilai-nilai moral dan spiritual dalam sebuah masyarakat yang berorientasi pada produksi manik dan fiksasi dengan komoditas. Sejak itu, dunia seni saat ini tampaknya telah mendua menjadi dua paradigma estetika yang sama sekali berbeda, masing-masing berbeda tajam dalam pandangan mereka tentang makna dan tujuan seni.

Dalam contoh pertama, seniman yang terus mewartakan dan mendukung kemandirian seni yang menyimpang dari yang baik pada aspek sosial dan segala bentuk kesungguhan moral dengan keterpisahan sosial sebagai premis dasar pembuatan seni. Dalam contoh kedua adalah seniman yang ingin seni memiliki beberapa agenda yang layak di luar dirinya sendiri dan tujuan penebusan sosial.

Dalam kesempatan lain Gablik mengungkapkan dalam A New Front (Publikasi Online: Greenmuseum.com): “Dunia seni telah menjadi kompetitif dan eksploitatif, dan bahwa fokus di dunia seni hanyalah pencarian keuntungan. Tidak hanya ini, untuk membatasi ekspresi artistik, mereka mengabaikan perhatian penting seni, yaitu estetika dan etika. ‘Otonomi estetika adalah berakar dan mendalam’, sementara praktik seni menyiratkan gagasan keterpisahan otonomi moral dan sosial sebagai kondisi pembuatan seni”.

Menyimak pernyataan tajam Suzi Gablik di atas, bisa dipahami bagaimana seniman yang memfokuskan masalah lingkungan sebagai materi penciptaan karya-karyanya dalam bekerja. Seniman Lingkungan dalam proses penciptaannya menitikberatkan aspek kerjasama jaringan. Mereka bekerja bersama dengan orang-orang di sekitarnya untuk menggalang pemahaman lingkungan. Metode ini sebagai bagian dari strategi dalam mendidik lingkungannya dengan tujuan keluar dari masalah yang dihadapi. Dalam proses penciptaan seni lingkungan dikenal istilah Sustainable atau ide kerja berkelanjutan. Artinya karya yang dihasilkan adalah bukan hasil akhir, dan bentuk karya seninya tidak harus bertahan ratusan tahun yang memungkinkan untuk dijadikan komoditas jual beli barang antik. Seperti yang diungkapkan Gablik di atas, adalah penciptaan karya seni sebagai bagian dari penebusan dosa atas kerusakan alam yang telah dieksploitasi oleh sifat materialistik manusia.

Kembali kepada aspek lingkungan alam dan sosial yang menjadi sumber inspirasi penciptaan Tjokorda Bagus Wiratmaja atau seniman lainnya, termasuk saya. Sebaiknya dalam penciptaan karya seni menyadari adanya dua paradigma atau cara pandang estetika yang sedang berjalan bersamaan, dan keduanya saling berlawanan seperti yang digambarkan dengan baik oleh Suzi Gablik di atas. Ini berguna untuk menghindari gagasan penciptaan yang akan menjadi bercampur baur dalam proses dialektika pada muatan-muatan estetik dan etikanya. Supaya terjadi edukasi yang baik pada tataran visioner dari para pelaku seni beserta pendukungnya. Banyak seniman yang terinspirasi pada aspek kerusakan Lingkungan dan Alam dalam paradigma penciptaannya justru memberi kesan hanya mengeksploitasi objek alam tersebut. Seniman tidak memberi solusi pada objek yang diamati.

Firman Djamil
Alumni Pascasarjana Institut Seni Indonesia – ISI Yogyakarta.
Anggota AiNIN : Artist in Nature International Network (www.ainin.org)
(www.firmandjamil.blogspot.com)