Pelras, I La Galigo, dan Bugis

Bagaimana batas dan seberapa jauh jarak antara ’fakta’ dan ’fiksi’? Bagaimana memperlakukan keduanya? Pertanyaan yang berkisar antara kedua itu memang kerap menjadi bahan debat ketika dunia sastra berhadapan dengan ilmu sosial lainnya, semisal antropologi. Namun pertanyaan itu telah dijawab dengan sangat baik oleh Christian Pelras lewat Manusia Bugis [Penerbit Nalar, 2006], buah penelitiannya selama 40 tahun lebih di jazirah selatan Pulau Sulawesi. 

Bagi Pelras, I La Galigo sebagai fiksi, adalah sumur inspirasi penelitian yang tak akan kering. Karena itu, meski ditentang keras oleh peneliti tentang Sulawesi Selatan lainnya seperti Ian Caldwell dan si penulis Warisan Arung Palakka (Ininnawa, 2004) itu, Leonard Andaya, ia tetap menjadikan kitab Bugis itu menjadi panduan dalam penelitian terhadap suku yang selalu diidentikkan sebagai bangsa pelaut ulung itu, terutama pada periode-periode Bugis Awal.  

Ia mafhum benar kalau teks I La Galigo sarat unsur-unsur mitologis dan bumbu lainnya sebagaimana galibnya sebuah karya epos dan harus digunakan penuh cermat. Tapi di satu sisi, ia pun yakin benar kalau jalan yang ditempuhnya tidaklah salah. Latar cerita La Galigo bukanlah negeri khayalan. Tempat yang digambarkan dalam teks tersebut justru mengacu pada lingkungan geografis yang dapat diketahui oleh pendengar pertama cerita dari pengalaman langsung mereka, begitu kilahnya, dalam halaman 55. Tempat yang dimaksudnya itu adalah Luwu, Wotu, Baebunta, Larompong, Tempe, Soppeng, Lamuru, Sidenreng, Suppa, Sawitto, dan Maru’/Maros (hal 59).  

Penggunaan teks I La Galigo sebagai sumber penelitiannya tak lepas dari kurangnya bukti mengenai peradaban masyarakat Bugis pada periode awalnya. Padahal, karya sastra besar itu benar-benar dapat memberi gambaran mengenai pandangan orang Bugis terhadap masa lalu mereka yang mungkin didasarkan atas fakta yang benar (hal 54). Bahkan secara khusus, periode kedua Bugis, yang berada dalam kisaran abad ke-11 hingga ke-13 itu, disebut oleh antropolog Universitas Sorbonne Paris itu sebagai ‘periode La Galigo’. Periode ini diyakininya sebagai periode keemasan yang berkaitan dengan ekspansi perdagangan antarpulau dan internasional, yang menyebabkan lahirnya berbagai kerajaan seperti Luwu, Cina, dan Soppeng serta Suppa’ (hal.395). 

Perlakuan Pelras terhadap I La Galigo sebenarnya hal yang lumrah dan sudah secara umum diterima dalam dunia antropologi. Kris Budiman dalam Bila(-kah) Antropologi dan Sastra Bertemu [1999] menyebut, dalam kasus masyarakat-masyarakat melek huruf, ahli-ahli antropologi beralih ke sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra. Karena sastra, baik lisan maupun tulis, kata Heddy Shri Ahimsa-Putra [1999], dapat diperlakukan sebagai ”pintu masuk” untuk memahami kebudayaan itu sendiri. 

Salah satu pendekatan yang memungkinkan dipakai untuk itu adalah pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Pendekatan ini menyebut fenomena kebudayaan pada dasarnya serupa fenomena linguistik, yang merupakan fenomena simbolik yang lahir untuk dan dari kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi, untuk bertukar pesan (Ahimsa: 1999). 

Pelras dengan I La Galigo di tangan, membedah masyarakat Bugis berikut pelurusan berbagai identitas yang kepalang dilekatkan ke mereka. Sebutlah sanggahan yang paling mengemparkan kesejarahan Sulawesi Selatan, ketika lelaki sepuh itu menyebut nenek moyang Bugis bukanlah pelaut seperti yang berkembang selama ini. Nenek moyang suku yang berkembang menjadi sekitar 4 juta jiwa itu justru pedagang, meski lantaran perkembangan perekonomian dunia telah membawa mereka berlayar sampai ke belahan dunia yang lain, yang kemudian memberi kesempatan dan andil manusia-manusia Bugis dalam pendirian negara yang kini dikenal dengan nama Singapura. Demikian pula ketika ditemukannya bahwa, jenis kelamin ketiga (calabai; lelaki yang berkelakuan serupa perempuan) dan keempat (calalai; perempuan yang berlaku bagai lelaki tulen) tetap mendapat tempat setara dengan laki-laki dan perempuan di dalam strata masyarakat Bugis. Temuan-temuan yang, bisa jadi, membuat masyarakat Bugis kontemporer berbangga diri itu tak lepas dari kitab I La Galigo sebagai hasil dari tradisi tulis yang berkembang begitu pesat dalam masyarakat Bugis. Bahkan setelah ’periode I La Galigo’ berlalu, tradisi tulis dalam bentuk catatan harian terus berlanjut, terutama di kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan.  

Catatan harian itu tidak memuat masalah pribadi melainkan mencatat kejadian-kejadian sosial yang penting. Kebiasaan menulis catatan itu ”agaknya hanya ada di Sulawesi Selatan dan orang yang telah mengalami pengaruh kultural itu. Kita tidak pernah mendengar jenis kesusastraan ini di wilayah kebudayaan Jawa maupun Melayu” (Noorduyn 1965:143). ]

 Kekuatan sekaligus kelemahan buku setebal 449 halaman itu tak lain karena begitu ensiklopedik. Memang kita akan dihantar masuk dunia manusia Bugis seutuhnya, lengkap perangkat budaya yang mereka hasilkan, seperti rumah panggung, kerajinan, serta benda budaya lainnya. Hanya saja di lain sisi, karena kepalang melakukan inventarisasi budaya yang ada dalam dunia Bugis, Pelras pun akhirnya hanya memaparkan hal-hal yang normatif dan begitu banyak ’mengumbar’ kejayaan manusia Bugis di saat lampau saja. Sehingga pertanyaan tentang bagaimana manusia Bugis kontemporer adalah pekerjaan rumah yang ditinggalkan lelaki dari Prancis ini.  

Dengan mengemukakan begitu banyak kejayaan orang Bugis di masa lalu, bukan tak mungkin sifat megalomania (poji ale atau memuji dan berbangga diri) orang Bugis makin berkembang saja lantaran paparan Pelras itu. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada penampilan orang-orang Bugis ketika ke pesta atau keramaian yang mengenakan begitu banyak perhiasan (emas) di sekujur tangan dan lengan mereka.  

Tapi selain itu, dengan buku ini pula, Pelras seakan ingin menegaskan bahwa karya sastra, di mana pun ia berada dan dilahirkan, terus menimbulkan persilangan, gumul, juga senggama, antara fakta dan fiksi, tentang bangsa-masyarakat di sebuah zaman. Hasil gumul itulah kelak yang memancarkan spektrum yang melahirkan warna-warna tafsir tentang kelahiran sebuah masyarakat, bagi generasi berikutnya, ketika sumber lain tak dapat menjelaskannya. Dan I La Galigo, setelah memesona ribuan pasang mata karena keelokannya di panggung sejumlah negara, kali ini kembali menyita perhatian karena melahirkan anak yang rupawan. Manusia Bugis namanya.

Dewi Bulan Turun di Makassar

LELAKI PARUH BAYA berperawakan tinggi dan besar itu berjalan sangat cepat saat melintas di depan Kampung Buku. Ia sesekali menundukkan kepala, seperti tak ingin terusik oleh keramaian sekitar. Lelaki itu mengenakan baju koko berwarna putih dan sarung coklat bermotif garis kotak-kotak. Di atas kepalanya bertengger kopiah putih bundar, sedang di pundaknya melintang kain sorban. Ketika adzan magrib berkumandang, ia mempercepat langkah. Di ujung simpang tepat di depan kantor Lurah Pandang, jalan berbelok ke kiri dan perlahan sosoknya hilang di balik bangunan.
Saya, Anchu, dan Piyo tertawa cekikikan menyaksikan video SKJ 88. Senam Kesegaran Jasmani dalam video tersebut diperagakan oleh seorang gadis Jepang dengan mimik wajah yang polos, serupa orang yang sedang ‘diplonco’. Perempuan berambut sepundak itu tidak sedang berpakaian senam ataupun pakaian olahraga; melainkan berpakaian kantor dengan rok selutut. Piyo dan Anchu tak henti mengomentari video tersebut sembari mengenang masa-masa muda mereka di sekolah dulu. Saya sendiri semakin tak bisa menahan tawa menyaksikan dua orang lelaki yang melintas dalam video tersebut tampak kebingungan memikirkan apa yang sedang dilakukan gadis Jepang itu.
Seusai tayangan video SKJ 88, Anchu yang bertindak sebagai operator mengganti tontonan dengan tayangan video belajar salat. Kami bertiga menyaksikannya saksama sambil tersenyum. Video kartun itu dilengkapi tata cara dan bacaan salat. Di tengah-tengah penayangan tiba-tiba saja seseorang berteriak di belakang kami.
“Bagus itu! Bagus!”
Kami kaget, langsung membalik. Rupanya lelaki paruh baya itu imam masjid Al-Haq Kompleks BTN CV Dewi. Rupanya, sedari tadi, ia sudah berdiri di belakang kami dan ikut menyaksikan tayangan video belajar salat itu. 
“Bagus ini di’ untuk anak-anak! Cepat ki pintar karena ada penjelasan gerakan sama bacaannya! Bagus begini diputar duluan sebelum main filmnya, sebagai selingan toh supaya belajar tong itu anak-anak,” komentar pria berkopiah, sumringah.
Anchu lantas beranjak dari tempat duduk dan menghampiri Pak Imam. Ia menanyakan kegiatan apa yang sedang dilaksanakan. Anchu memberikan papara singkat tentang program. Tak lama setelah mereka melakukan diskusi, Pak Imam memohon pamit. Itulah kali pertama Pak Imam menyapa kami dengan senyum sumringah setelah hampir tiga tahun Kampung Buku bermukim di Kompleks CV Dewi. Nama ini adalah nama tenar Kompleks Panakkukang Indah, terletak di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar.
Pada bulan kedua ini, malam Minggu pekan kedua Mei, tepat purnama sempurna, gerobak bioskop Dewi Bulan akan menayangkan film Ibunda, karya Teguh Karya. Saat malam semakin meninggi, penonton kian ramai. Kentongan gerobak bakso Mas Gondrong, yang setiap malam berkeliling di kompleks ini seolah menjadi penanda memanggil orang-orang untuk datang. Karpet biru yang digelar di halaman Kampung Buku dipenuhi rombongan bocah yang khusyuk menonton video Unyil yang ditayangkan sebagai pengantar sebelum film utama dimulai.
Gerobak Bioskop merupakan buah inisiatif Tanahindie (Makassar) dan ruangrupa (Jakarta). Tanahindie adalah ruang mandiri yang didirikan sejak 1999 di Makassar, yang menggalakkan program berbasis seni dalam pengertian seluas-luasnya, dalam bentuk pameran, penulisan, penelitian, dan penerbitan. Tanahindie mengerjakan pembuatan sampul setiap buku-buku terbitan Ininnawa. Tanahindie tidak berada di bawah payung Komunitas Ininnawa, melainkan mitra kerja yang mengurusi segala keperluan berorientasi seni yang dibutuhkan oleh Penerbit Ininnawa, termasuk mengurus perpustakaan Kampung Buku. Hal itu pula yang mendorong keputusan untuk menggelar Dewi Bulan di Kampung Buku sebagai ruang publik yang menjadi tempat mengakses bacaan untuk warga sekitar. 
Setiap orang boleh datang membaca gratis. Namun bila ingin meminjam buku dan membacanya di rumah, si peminjam harus menjadi anggota dan akan dikenai biaya administrasi dan biaya peminjaman. Biaya-biaya yang terkumpul diakumulasi dengan satu tujuan saja: menambah koleksi buku! Jadi, intinya, para anggota Kampung Buku-lah yang memperbaharui buku koleksi perpustakaan ini.
Awalnya, perpustakaan ini hanyalah biblioteka Penerbit Ininnawa. Manfaatnya hanya untuk Penerbit; sebagai sumber bacaan pendukung naskah yang berada dalam penyeliaan. Belakangan, perpustakaan sederhana ini dibuka untuk umum. Tidak mengherankan bila Kampung Buku banyak dikunjungi oleh para mahasiswa yang datang mencari referensi untuk tugas-tugas kuliah mereka.
Selain perpustakaan umum, Kampung Buku sejatinya sebuah agensi yang bertanggung jawab atas pendistribusian buku terbitan Ininnawa dan beberapa penerbit lain yang menjadi mitra kerja Ininnawa seperti Insist Press. Pendirian agensi ini bertujuan menyelamatkan buku-buku Ininnawa yang disantap diskon besar oleh para raksasa toko buku di Makassar.   
Ruangrupa, artist’ inisiative yang didirikan tahun 2000 oleh kelompok seniman di Jakarta, merupakan organisasi nirlaba yang mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian dan penerbitan jurnal. Ruangrupa membuat program pegelaran gerobak bioskop dan menyaring sepuluh kota di seluruh Indonesia. Makassar sendiri merupakan salah satu kota yang terpilih untuk diselenggarakannya program ini dan menjadi kota yang pertama tempat pegelaran diselenggarakan.
Ruangrupa memfasilitasi kegiatan ini dengan seperangkat alat-alat pemutaran berupa layar, proyektor, sebuah laptop untuk memutar sekaligus dengan sebuah hardisk yang berisi film-film yang akan diputar. Tidak hanya itu, ruangrupa juga menyediakan sepasang mini sound untuk mendukung lancarnya program gerobak bioskop ini.
Program gerobak bioskop di Makassar diberi nama Dewi Bulan. Nama ‘Dewi Bulan’ diambil dari nama salah satu nama bioskop yang pernah ada dan terkenal di Makassar. Seiring perkembangan kota, akhirnya Bioskop Dewi pun gulung tikar dan hilang sama sekali. Mungkin sebagian besar generasi kalangan yang lahir belakangan muda baru di Makassar tidak mengenal ataupun tahu kalau Bioskop Dewi itu pernah ada. Alasan lain yang menyempurnakan sekaligus menguatkan adalah secara kebetulan tempat pelaksanaan gerobak bioskop ini diselenggarakan di BTN CV Dewi. Kata ‘Bulan’ sendiri, ia mengatakan bahwa bioskop ini akan kita putar sebulan sekali tepat pekan bulan purnama.
Saya, bertindak sebagai manajer program, ditunjuk setelah mempertimbangkan nama lain. Mulanya Ancu jadi kandidat. Ia berpengalaman mengelola kegiatan serupa Dewi Bulan, yakni SOLATA (Sorot Layar Tamalanrea). Solata, yang harfiahnya ‘kawan kita’ dalam bahasa Toraja, digelar ketika Komunitas Ininnawa bermarkas di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan Tamalanrea, sekisar enam kilometer utara Kampung Buku sekaang. Lebih jauh, pengelola SOLATA pernah dipercayakan untuk kegiatan Europe On Screen.


DEWI BULAN resmi melakukan peluncuran  kegiatan pada 22 April 2011. Mirwan Andan yang merupakan eksekutor gerobak bioskop dari ruangrupa menawarkan agar pemutaran perdana diselenggarakan pada Minggu malam tanggal 23 April 2011. Namun pada saat yang bersamaan pementasan teater I Lagaligo juga sedang berlangsung di Makassar. Akhirnya keputusan untuk penyelenggaraan peluncuran Dewi Bulan ini disepakati pada tanggal 22 April.
Pengelola Dewi Bulan hanya punya waktu dua hari menjelang launching. Saya dan teman panitia lain mulai bekerja mempromosikan kegiatan ini. Media internet menjadi sarana paling mutakhir untuk melakukan pekerjaan ini. Layanan sms juga tak luput dieksekusi untuk mengajak semua teman-teman yang terdaftar dalam phone book agar datang ke acara ini.
Sejak sore panitia mulai sibuk mengurusi persiapan teknis, mulai dari pemasangan screen, setting proyektor hingga menata kursi-kursi tempat duduk para undangan. Selepas shalat magrib, semua perangkat telah terpasang. Acara akan dimulai pada pukul 20.00. Sambil menunggu para tamu yang datang, panitia menayangkan beberapa video pendek sebagai pengantar. Acara terlambat kurang lebih setengah jam dari jadwal yang sudah ditetapkan. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 20.30 acara pun dimulai. 
Saya membuka acara dengan memberikan pemaparan singkat program gerobak bioskop Dewi Bulan. Jimpe menjelaskan hubungan kerjasama Tanahindie dengan ruangrupa dalam penyelenggaraan program ini. Setelah itu barulah Mirwan Andan, sang eksekutor gerobak bioskop dari ruangrupa memaparkan apa dan mengapa gerobak bioskop ini mereka buat. Para penonton cukup menikmati jalannya penjelasan ketika Andan memberikan gambaran tentang ruangrupa dan apa yang telah mereka kerjakan. 
Jalannya acara semakin menarik saat Andan mulai memberikan penjelasan tentang program OK Video, karya-karya dalam komplikasi 10 tahun seni video Indonesia 2000 – 2010. Pada beberapa judul film yang diperlihatkan seperti sinema elektronik ataupun azab perempuan cantik dan pacarnya membuat para penonton tertawa cekikikan menyaksikannya. Namun di beberapa film lain seperti kumpulan foto yang dibuat film, ataupun undang-undang anti globalisasi yang dibuat lagu menjadikan mereka tampak lebih serius menontonnya. Proses ini cukup menguras banyak waktu sebab cukup banyak referensi film yang diperlihatkan sehingga pemutaran film utama menjadi terlambat. Beberapa penonton yang terlihat mulai bosan berpindah tempat duduk ke area belakang. 
Malam semakin meninggi dan sampailah kita pada akhir acara. Sebagai film pamungkas, film Nagabonar diputar. 


PADA DASAWARSA 1970–1980-an, marketing perusahaan-perusahaan jamu dan rokok bertualang menembus permukiman masyarakat di pelosok Nusantara untuk menggelar layar tancap. Ketika mobil penyelenggara tiba di satu daerah tertentu maka para penduduk pun kegirangan seperti menyambut pahlawan perang yang baru pulang. Anak-anak berlarian di belakang mobil berebut pamflet film yang akan ditayangkan. Biasanya, sebelum dan pada saat acara berlangsung, pihak perusahaan jamu atau rokok menggelar barang dagangannya. Mereka terus berpromosi mengajak para penonton untuk membeli.
Pegelaran layar tancap pada saat itu tak luput diisi dengan penayangan pesan-pesan pembangunan dari pemerintah sebagai pengantar sebelum film ditayangkan. Biasanya pesan pembangunan tersebut berisi program BKKBN atau reboisasi. Fenomena ini fenoman khas di masa Orde Baru. 
Layar tancap tidak hanya bertindak sebagai hiburan semata yang datang dan pergi begitu saja. Ia tinggal dan melekat menjadi sebuah hiburan baru bagi masyarakat. Seperti yang terjadi di daerah Pacitan, Jawa Timur. Hiburan layar tancap diadopsi menjadi permainan baru oleh anak-anak. Mereka menamainya permainan Beskop-Beskopan. Permainan ini merupakan versi konvensional dari wayang kulit. Mereka membuat pola dari kertas karton dan digunting untuk membentuk karakter yang akan dimainkan, sementara layarnya mereka buat dari kain bekas atau sarung bekas. Untuk memainkan karakter, mereka mengikatnya pada sebuah benang panjang yang melintang. Karakter tersebut kemudian ditarik-tarik oleh ‘ki dalang’ dari balik layar dengan diterangi lampu minyak. 
Pegelaran layar tancap gerobak bioskop Dewi bulan memberikan efek positif bagi Kampung Buku dan sekitarnya. Di depan perpustakaan ini terdapat dua buah bangunan kos-kosan putri yang tergolong mewah. Fasilitasnya lengkap mulai dari kulkas, tempat tidur, lemari, AC, hingga laundry pakaian. Kos-kosan ini banyak dihuni oleh orang-orang yang bekerja kantoran dan mahasiswa. Menariknya, sejak sore hingga tengah malam, anak-anak muda kompleks CV Dewi ini selalu mengendarai motor mereka dengan kecepatan tinggi setiap melintasi daerah depan kos-kosan tersebut. Bagi anak-anak kecil yang masih bau kencur juga tak mau kalah dengan ikut melajukan sepeda sembari mengumandangkan lengkingan suara bocah mereka. Entah apa maksud dan tujuan dari tindakan mereka, mencari perhatian, ingin dipuji, mau eksis, entahlah. Yang pasti dengan diselenggarakannya layar tancap di Kampung Buku, laju kendaraan di jalur ini perlahan mulai melambat. Tak terlewatkan juga, setiap kali pegelaran gerobak bioskop Dewi Bulan ini diselenggarakan, para penghuni kos-kosan tersebut juga ikut memeriahkan jalannya acara dengan menonton dari lantai dua bangunan hunian mereka.[]           


(Nur Muhammad Ahmad, Manajer Program DEWI BULAN)

IWAN FALS! IWAN FALS! IWAN FALS!


IWAN FALS! IWAN FALS! IWAN FALS!

Gerobak  Bioskop DEWI BULAN akan membentang layar. Malam Minggu 16 Juli 2011 akan memutar film DAMAI KAMI SEPANJANG HARI. Film arahan Sophan Shopiaan ini dibintangi oleh Iwan Fals. Film pertama sekaligus film terakhir Iwan Fals!

KEGIATAN-KEGIATAN
Garage Sale: Bawa barang-barang kreasi, ciptaan, atau benda-benda yang tidak kamu butuhkan lagi. Lelanglah!
Yang berminat ikut "Garage Sale", sertakan juga satu atau beberapa buku bekasmu. Perpustakaan Kampung Buku akan senang hati menerimanya.

KOPI DARAT KOMUNITAS, ... GANTI!
Garage Sale ini juga akan menjadi ajang ketemu-ketemu dan ‘kopi darat’ beberapa komunitas. Kongkow-kongkow gosip dan bincangkan Kota Makassar.

DEWI BULAN, SEKILAS
Dewi Bulan hanyalah nama plesetan. Nama Dewi untuk mengenang Bioskop Dewi yang pernah berjaya di dua tiga dekade sebelumnya. Kebetulan juga, layar tancap program yang digerakkan Tanahindie bekerjasama dengan ruangrupa, diluncurkan kali pertama di Kompleks BTN CV Dewi, nama tenar dari Kompleks Panakkukang Indah.
Imbuhan Bulan di belakang membuatnya terdengar cantik. Namun fungsinya sebagai tanda bahwa gerobak bioskop ini dilangsungkan setiap menjelang purnama. Purnama kerap dipersamakan dengan Dewi Bulan sedang turun.