Yang Lahir di Bulan Desember

foto: http://efekrumahkaca23.blogspot.com/

“Biar badai sekali pun, saya tetap berangkat menonton Efek Rumah Kaca!”

Awan mendung menggantung di langit malam. Sesekali gerimis. Di jalan raya sekitaran daerah Abdullah Daeng Sirua macet. “Kita jalan kaki saja kalau begitu!” kata saya kepada beberapa teman.

Mereka terlihat ogah-ogahan menanggapi. Ini semakin membuatku cemas. “Kalau sampai pukul sembilan malam mereka belum juga bersiap berangkat, saya akan berangkat sendiri!” batin saya.

Saya coba ‘memanasi’ mereka. Saya berdiri dan berlagak sudah tak sabar dan memperlihatkan tingkah ‘merajuk’. Kak Ancu, senior saya, yang berbaring di kamar, saya bangunkan. “Pergi duluanlah. Nanti saya menyusul!” Ah, saya harus menghentikan usaha ‘merajuk’ ini. Satu-satunya pilihan tersisa: memaksa Bondan. Bondan mengiyakan.

Kami pun berangkat. Gerimis sepanjang perjalanan. Karena macet, kami lewati ‘jalan tikus’: Jalan Ance Daeng Ngoyo. Yah, sama saja. Kedua jalur penuh kendaraan. Jalanannya pun berlubang. “Wah, ini sih sungai namanya,” kata Bondan.

Jelang pukul sembilan kami tiba. Kami parkir di depan rumah mewah bertingkat dua. Tempat acara berlangsung di jalur seberang. Kami segera mendekat. Kami berteduh di bawah pohon yang menghiasi pembatas jalan. Di sana juga banyak orang berdiri menonton. Saya bertemu beberapa junior saya di Fakultas Ilmu Budaya Unhas. Saya berbincang-bincang dengan mereka. Musik dari salah satu band pembuka menyegarkan percakapan. Dan sekaleng bir dingin yang disesap bersama-sama menyegarkan tubuh dari udara malam.

Ada beberapa band pembuka. Aku mendapati band pembuka: The Finalis. Seorang junior saya bilang, namanya demikian karena ketiga personelnya merupakan para pemenang festival yang diadakan oleh Yamaha. Sebetulnya ada empat personel. Tapi keyboardisnya tak datang--entah berhalangan apa. Malam itu, ada beberapa lagu yang dinyanyikan. Dua lagu terakhir adalah ciptaan mereka. Vokalis sekaligus bassistnya jangkung, berkaca mata. Si gitaris berambut gondrong keriting. Aku paling senang menyaksikan permainan drum. Drummernya memakai baju kaos hitam lengan pendek. Kulitnya hitam manis. Wajahnya kalem. Seksi. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang. Ia perempuan keren. Hehehe!

Permainan mereka berlangsung nyaris setengah jam. Saya berfirasat, sepertinya ini akan menjadi band pembuka terakhir. Dan saya benar. Setelah pengumuman pemenang kuis dari pihak penyelenggara, para personel ERK pun dipanggil naik ke panggung. Di depan panggung berdiri empat tenda putih yang berbaris rapat. Atapnya bertuliskan satu merk rokok. Di bawahnya penuh sesak.

Kholil, sang vokalis, pakai baju kemeja panjang garis hitam-putih yang lengannya tak digulung. Basisnya pakai switer garis merah-hijau. Drummernya, si Akbar, saya tak tahu ia mengenakan pakaian apa. Sepertinya switer juga.

Saya lihat jam di hape: pukul 21.49. Inilah detik awal adrenalin saya dipacu lagu-lagu ERK hingga terakhir. Inilah awal di bulan Desember di mana segala risau terhadap segala macam hal yang menggempur otakku tumpah, mencair, menguap bersama udara malam, dan melahirkan sesuatu yang benar-benar baru. Ini terkesan sentimental: tapi itulah kenyataan yang harus saya katakan!

MALAM itu ada 16 lagu yang dibawakan ERK selama kurang lebih dua jam. ERK tampil dalam acara CHAMBERS YEAR END SALE 2011, 30 Desember 2011 di Chambers Shop, Boulevard Panakkukang. Tiga lagu pertama saya belum beranjak dari tempat. Tapi antusiasme untuk bernyanyi saya begitu besar. Antusiasme menggebu-gebu itu hanya cocok jika kita berada 2-4 meter dari bibir panggung. Saya ajak beberapa teman di sekeliling saya untuk mendekat ke bawah tenda. “Di sini saja, bisa kelihatan para personelnya.”

Ya sudah, saya tinggalkan mereka. Saya langsung menuju bawah tenda. Cocok sekali! Saya senang dengan orang-orang yang berada di bawah tenda ini. Mereka bernyanyi dengan begitu bergairah. Bagi mereka yang mungkin tak suka kebisingan sound speaker, atau malah tak bisa menikmati lagu ERK dari dekat, dengan sendirinya keluar dari sana. Ini sekaligus memberi ruang untukku semakin mendekatkan ke kiri panggung. Posisi terakhirku berjarak 3 meter dari panggung. Itu posisi yang pas bagiku.

Seluruh tenda penuh sesak. Aku berada di tenda kedua dari kanan, searah panggung. Anak-anak muda—saya menaksir mereka masih usia sekolah (SMA) atau juga mahasiswa baru—begitu riuh bernyanyi. Hanya ada beberapa yang membawa ‘gandengan’.

Di kedua sisi panggung ramai berdiri orang-orang memegang kamera besar. Mungkin kalangan wartawan. Sesekali mereka mengarahkan kamera kepada ketiga personel ERK, lalu ke arah penonton yang paling bergairah bernyanyi dan melompat.

Penonton di bawah tenda juga tak kalah. Mereka memotret pakai handphone. Ada juga yang merekam. Aku tak merekam atau pun memotret aksi ERK, sejak liur bocah laki-laki usia satu tahun membanjiri lensa-potret hapeku. Jadi apa yang kulakukan? Setiap di awal lagu, aku langsung mengetik judulnya. Yah, sebagai penggemar fanatik lagu-lagu mereka, jelas aku hafal setiap nada awal lagu. Makanya aku tahu jumlah lagu yang dinyanyikan mereka malam itu. Aku yakin, di antara para penonton di bawah tenda itu tak ada yang semilitan aku. Tanya mereka berapa lagu yang dibawakan ERK malam itu, mereka tak bakal tahu. Halah!

Jika saya pilah-pilah jenis ke-16 lagu itu, maka ada tiga tema yang ditampilkan: kritik sosial-politik-budaya, perenungan hidup dan individu, dan soal cinta. Jika mau didetailkan lagi, maka pemilahannya seperti ini: kritik sosial-politik-budaya [Mosi Tidak Percaya, Hilang, Di Udara, Jangan Bakar Buku, Banyak Asap di Sana, Lagu Cinta Melulu, dan Kenakalan Remaja di Era Informatika]; perenungan hidup dan individu [Balerina, Melankolia, Sebelah Mata, Hujan Jangan Marah, Kamar Gelap, dan Desember]; dan soal cinta [Jatuh Cinta Itu Biasa Saja, Sepi, dan Aku dan Kau Menuju Ruang Hampa]. Keenambelas lagu itu dari album pertama dan kedua. Satu nomor mereka ambil dari album baru yang rencana diluncurkan 2012: Hilang.

Sejauh saya mendengar ERK, ketiga tema tersebut di atas biasanya dibungkus dengan irama musik yang berbeda. Untuk lagu bertema sosial-budaya-politik, biasanya lebih menghentak, aroma pop-rock kental, selalu mampu mengajak tubuh bergerak, bahkan berjingkrak, jika mendengarnya. Simak saja Mosi Tidak Percaya, Di Udara, dan Banyak Asap di Sana. Banyak bagian dari lagu-lagu itu yang memprovokasi tubuh kita meloncat girang. Lagu-lagu itu seperti menyulap tanah pijakan menjadi trampolin. Terkecuali lagu Jangan Bakar Buku yang bertempo lambat. Tapi lagu ini kritik politiknya sangat kental. Ia respons terhadap aksi pembakaran buku-buku sejarah oleh Kejaksaan akhir 2009 silam.

Sementara untuk lagu bertema perenungan, biasanya disertai paduan alunan gitar-bas-drum yang terkesan datar tapi nikmat di telinga, sulit untuk tidak mengangguk-anggukkan kepala saat menyimak lirik-liriknya. Saya dibawa masuk ke dalam perenungan hidup yang dalam makna. Jika kau mendengar Balerina, kau akan menarik hikmah bahwa hidup ini harus dijalani dengan penuh perjuangan, tak boleh putus asa, menghimpun energi dari cerita-cerita inspiratif, ya seperti tarian balerina yang begitu lentur, seperti ngelantur, bergerak maju begitu berirama. Lagu-lagu perenungan individu juga tak kalah menariknya. Dengar saja Sebelah Mata. Lagu ini diciptakan sendiri oleh sang Basis, Adrian. Sekaligus menceritakan sakit retinitis pigmentosa, yang menyerang matanya. Adrian mencoba mencari hal indah dari deritanya. Saya seolah merasakan kesakitan yang diderita si Adrian. Sungguh tak mudah menurutku menyemangati diri dan mencari sesuatu yang positif di tengah kondisi diri yang sakit dan lemah. Dan sekarang si Adrian tak lagi main bas, digantikan si Popi, laki-laki jangkung berambut gaya mangkok soto banjar.

Tapi ada juga dari lagu bertemakan perenungan yang nyaris terjebak ke dalam kesuraman nada, dengan pukulan pada kunci gitar yang seolah berlomba dengan gumaman dan teriakan Kholil, sang vokalis. Kesuraman plus teriakan itu terasa sekali padaku saat mendengar Hujan Jangan Marah. Awal-awal lagu membawaku menuju suasana yang muram, namun menjadi begitu ‘menakutkan’ sehingga bulu kudukku merinding ketika tiba pada akhir lagu. Kholil teriak lantang, “Hujaaaaaan jangaaaan maraaaaaahhh…” Dahsyat!

Pada lagu bertemakan cinta, menurutku tak ada nada musik khas. Kecuali pada liriknya yang tak mengajak kita bercengeng-cengeng ria. Lagian lagu cinta malam itu hanya tiga. Yah, meski mereka berusaha menciptakan lirik cinta yang ‘tak biasa’, tapi menurutku itu belum benar-benar berhasil. Romantisme individu dalam lingkaran asmara sepasang kekasih belum benar-benar hadir sebagai satu lagu yang tersimpan di kepala. Romantisme yang begitu dalam justru hadir dalam lagu-lagu perenungannya akan persoalan hidup, sampai hal-hal ‘renik’ dan remeh-temeh macam hujan, penyakit katarak, cemara yang pucat dan hal ‘renik’ lainnya.

Dan malam itu sungguh tak satu pun lirik dan bait yang alpa terucap dari mulutku. Meski suaraku nyaris habis, mulutku terus saja bergerak mengucapkan baris-baris bait lagu. Tak pedulu hujan di luar tenda, tak peduli rembesan air hujan yang menetes di pinggir atap tenda, aku terus berjingkrak dan menggerak-gerakkan pelan tubuhku. Keringat mengucur, semangat pun tak berhenti mengucur. Mereka saling berlomba mengucur…

SEPULANG dari menonton, aku baru menyadari suaraku serak, nyaris tak terdengar jelas. Bahkan saat menyahut seorang polisi perintis yang garang, yang berhenti tiba-tiba di hadapanku dan menuduhku dan teman-teman sengaja menggelindingkan botol bir kosong tepat di hadapannya. “Itu botol jatuh sendiri, Pak! Serius!” kataku dengan serak. Bondan pun memungut botol itu yang nyaris dilindas sebuah taksi. Polisi perintis itu pun berlalu pergi…
Lalu apa yang tersisa setelah menonton Efek Rumah Kaca?

Tanpa bermaksud bersikap sentimental, terus terang ‘suara’ku yang tertahan beberapa bulan terakhir tumpah tak terbendung malam itu. Suara dari kemarahan akan kondisi sosial dan politik setahun terakhir. Aku tak bermakud sok heroik. Kupikir semua orang merasakan hal ini. Di jejaring sosial, orang ramai-ramai mengutuk banyak hal. Berita-berita tentang korban ketidakadilan menyesaki laman web dan koran-koran. Karena aktivitasku yang tengah menjalankan sebuah program di desa, otomatis berita-berita terlambat tiba padaku. Teman-teman yang peduli bahkan terlibat dalam proses advokasi sering kali mengirimku kabar itu via pesan pendek.

Jadi ketika aku ikut bernyanyi dengan lantang dan loncatan tubuh di tanah malam itu, aku sepenuh hati mengikutkan suara hatiku di sana. Aku tak peduli apakah aku bisa melihat wajah para personelnya, toh aku datang untuk merasakan gravitasi musik mereka. Meresapi dan menghayati setiap lirik lagu. Bukan melihat aksi mereka secara individu.

Saat menyanyikan Udara, aku benar-benar mengingat Munir, aktivis HAM yang diracun di udara, di atas pesawat terbang. Dalam lagu itu aku juga terkenang Sondang Hutagalung, pemuda usia 20-an yang membakar diri dan menjadi martir. Saat aku menyanyikan Hilang, aku turut teringat para aktivis Reformasi 98 yang diculik rezim Orde Baru. Ingatan saya tertaut pada berita baru-baru ini, dan sampai sekarang masih hangat, tentang masyarakat di Bima yang mati tertembak dan terluka hanya karena mempertahankan hak mereka yang dirampas perusahaan tambang. Saat menyanyikan Mosi Tidak Percaya, aku seperti ikut menyenandungkan sebuah manifesto akan ketidakpercayaan terhadap rezim hari ini.

Semua lagu yang kuikuti nada dan liriknya, semampunya aku hadirkan semua hal yang membuatku marah, geram, tertawa, gembira dan menangis. Dan ERK telah menjembatani semua itu lewat lirik-liriknya yang politis, liris, puitis, romantic. Semua rasa itu ada yang hilang di udara malam, ada yang terbakar di ruang hampa, dan ada yang terlahir bersama hujan Desember.

Semoga tahun baru nanti ada banyak cinta yang lebih murni. Salamku untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih adil. [Dedy Ahmad Hermansyah]

DISTORSI OBJEK DALAM SENI LUKIS

(Tinjauan Kritis atas Strategi Artistik Penciptaan Seni)

Dunia seni telah menjadi kompetitif dan eksploitatif, dan bahwa fokus
di dunia seni hanyalah pencarian keuntungan. Tidak hanya ini, untuk membatasi ekspresi artistik, mereka mengabaikan perhatian penting seni,
yaitu estetika dan etika. - Suzi Gablik

Big Sale, karya Tjokorda Bagus Wiratmaja (dokumentasi: Firman Djamil)

Penciptaan seni yang mengambil Lingkungan Alam sebagai fokus penciptaan bagi seniman merupakan fokus yang sangat menarik dan menginspirasi. Fenomena alam melalui  peristiwa-peristiwabaik yang diakibatkan oleh ritual alami melalui peristiwa alam yang menimbulkan bencana, maupun yang diakibatkan oleh intervensi manusia melalui eksploitasi—yang memberi konsekuensi kerusakan lingkungan. Baru saja kita semua mengalami masa naas letusan Merapi. Begitu juga dengan peristiwa Lumpur Sidoarjo yang diakibatkan oleh kelalaian manusia. Perusakan akibat eksploitasi hutan Indonesia (illegal logging) dan penguasaan Hak Atas Hutan oleh korporasi, sangat mempengaruhi iklim global karena hutan Indonesia (di samping hutan Brazil) merupakan penyokong nafas dunia lewat produksi O2 dan juga sebagai fungsinya sebagai menampung air dan menyerap efek rumah kaca. Hal lain yang menjadi masalah lingkungan di Indonesia adalah masyarakat konsumerisme yang menjalar sampai ke desa-desa. Konsumerisme memproduksi jutaan meter kubik sampah kemasan plastik tiap hari yang bermasalah pada ekologi.

Wacana di atas ditangkap oleh Tjokorda Bagus Wiratmaja sebagai fenomena yang dapat menjadi sumber inspirasi penciptaan karya seni lukisnya. Karya lukisan Tjokorda Bagus Wiratmaja yang bertema “Distorsi Objek Dalam Seni Lukis”, salah satu yang dibahas pada seminar Penciptaan Seni II pada Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2010 lalu.

Dalam proses penciptaannya, Tjokorda mencoba mengamati fenomena alam tersebut yang memfokuskan pada kerusakan alam dan dampak sosialnya. Berdasarkan pengalaman empirik dan pengamatannya melalui media informasi, seperti siaran TV dan dokumentasi melalui rekaman DVD-Discovery Channel, Tjokorda menangkap kemungkinan artistik melalui distorsi bentuk pada objek-objek yang diamatinya. Distorsi bentuk tersebut akan diterjemahkan melalui interprestasi artistik untuk mewujudkan bentuk abstraksi ke dalam karya lukisnya.

Salah satu hasil karya Tjokorda berjudul “Big Sale”, merupakan karya yang tercipta dari hasil pengamatan atas kerusakan habitat Harimau. Tjokorda menangkap momentum artistik Harimau melalui belang kulitnya. Belang kulit Harimau ini di visualisasikan di atas kanvas melalui elemen garis, bentuk, warna, tekstur dan bentuk dalam irama ekspresif. Tjokorda menggunakan pula teknik palet sebagai upaya mengorganisir keutuhan visual yang harmoni. Selain itu, dalam pencapaian estetiknya, Tjokorda mempertimbangkan pula aspek proporsi, komposisi, volume terang-gelap, dan keseimbangan untuk mendekati konsep distorsi bentuk yang dikehendakinya, seperti pada makalah yang dituliskannya dalam konsep perwujudan karya.

Dalam menyimak pencapaian artistik karya-karya Tjokorda, pencapaian aspek visual terutama pada dukungan teknik palet dan eksplorasi medium cat pada kanvasnya tampaknya memiliki keunggulan tersendiri dari segi kualitas material. Namun dalam hal yang merujuk pada aspek penting penciptaan lain seperti visi seorang seniman dalam pencapaian estetik dan etika, yang diusung dalam berbagai pendekatan metodologi, konsep dan tujuan penciptaan masih harus didiskusikan lebih lanjut. Dalam strategi artistik seni lukis yang mengandalkan bentuk, warna, komposisi, dan tekstur, apakah cukup memiliki strategi dalam menjembatani visi seninya untuk memenuhi tanggung jawabnya bila menyertakan subject-matter pada  aspek alam dan lingkungan?

Sementara dalam perspektif penciptaan seni dan lingkungan yang dijadikan banyak seniman sebagai sumber penciptaan, hal terpenting yang menyertainya adalah aspek tanggung jawab yang berhubungan langsung dengan dilema persoalan lingkungan. Aspek tanggung jawab ini menjadi motif utama dalam penciptaan seni lingkungan mengalahkan aspek estetik maupun artistik lainnya yang ada pada penciptaan seni dalam bingkai modernisme.

Dalam penggunaan medium seni, Linda Weintraub dalam The Message of the Medium, Avant-Guardians: Ecology and Art at the Cultural Frontier-2006 yang dipublikasi oleh Greenmuseum.com mengemukakan: “Perpindahan pesan seni yang biasanya dianggap berasal dari medium fisik, estetika, dan kualitas metaforik, Seniman menambah kualitas keempat - dampak lingkungan dan sosial dari pemanfaatan media”. Misalnya, apa dampak lingkungan dari manipulasi media? Apa dampak lingkungan dari karya seni yang dibuat dari media yang digunakan? Pesan ekologis dari pandangan Weintraub ini, menyampaikan secara khusus antara hubungan karya seni dengan basis sumber daya alam sebagai subject-matternya. Dan dalam penciptaan seni lukis apakah harus menyertakan kulit harimau sebagai bagian material yang digunakan pada proses penciptaan karya?

Penciptaan seni lingkungan memiliki karakteristik yang spesifik dalam metodologi dan strategi penciptaan karena berhubungan dengan sikap artistik seniman dalam menciptakan perubahan nilai yang tengah diperjuangkan sebagai agenda perubahan. Cara pandang estetik seni lingkungan justru berlawanan dengan prinsip-prinsip seni modern.

Cara pandang yang berlawanan ini dapat dipahami melalui Suzi Gablik. Gablik adalah seorang filsuf, kritikus, kurator seni dan penulis yang telah menulis buku Has Modernism Failed?(2004). Gablik menyatakan: “Ketika saya pertama kali mulai menulis Has Modernism Failed? lebih dari dua puluh tahun yang lalu, apa yang saya ingin eksplorasi adalah relevansi nilai-nilai moral dan spiritual dalam sebuah masyarakat yang berorientasi pada produksi manik dan fiksasi dengan komoditas. Sejak itu, dunia seni saat ini tampaknya telah mendua menjadi dua paradigma estetika yang sama sekali berbeda, masing-masing berbeda tajam dalam pandangan mereka tentang makna dan tujuan seni.

Dalam contoh pertama, seniman yang terus mewartakan dan mendukung kemandirian seni yang menyimpang dari yang baik pada aspek sosial dan segala bentuk kesungguhan moral dengan keterpisahan sosial sebagai premis dasar pembuatan seni. Dalam contoh kedua adalah seniman yang ingin seni memiliki beberapa agenda yang layak di luar dirinya sendiri dan tujuan penebusan sosial.

Dalam kesempatan lain Gablik mengungkapkan dalam A New Front (Publikasi Online: Greenmuseum.com): “Dunia seni telah menjadi kompetitif dan eksploitatif, dan bahwa fokus di dunia seni hanyalah pencarian keuntungan. Tidak hanya ini, untuk membatasi ekspresi artistik, mereka mengabaikan perhatian penting seni, yaitu estetika dan etika. ‘Otonomi estetika adalah berakar dan mendalam’, sementara praktik seni menyiratkan gagasan keterpisahan otonomi moral dan sosial sebagai kondisi pembuatan seni”.

Menyimak pernyataan tajam Suzi Gablik di atas, bisa dipahami bagaimana seniman yang memfokuskan masalah lingkungan sebagai materi penciptaan karya-karyanya dalam bekerja. Seniman Lingkungan dalam proses penciptaannya menitikberatkan aspek kerjasama jaringan. Mereka bekerja bersama dengan orang-orang di sekitarnya untuk menggalang pemahaman lingkungan. Metode ini sebagai bagian dari strategi dalam mendidik lingkungannya dengan tujuan keluar dari masalah yang dihadapi. Dalam proses penciptaan seni lingkungan dikenal istilah Sustainable atau ide kerja berkelanjutan. Artinya karya yang dihasilkan adalah bukan hasil akhir, dan bentuk karya seninya tidak harus bertahan ratusan tahun yang memungkinkan untuk dijadikan komoditas jual beli barang antik. Seperti yang diungkapkan Gablik di atas, adalah penciptaan karya seni sebagai bagian dari penebusan dosa atas kerusakan alam yang telah dieksploitasi oleh sifat materialistik manusia.

Kembali kepada aspek lingkungan alam dan sosial yang menjadi sumber inspirasi penciptaan Tjokorda Bagus Wiratmaja atau seniman lainnya, termasuk saya. Sebaiknya dalam penciptaan karya seni menyadari adanya dua paradigma atau cara pandang estetika yang sedang berjalan bersamaan, dan keduanya saling berlawanan seperti yang digambarkan dengan baik oleh Suzi Gablik di atas. Ini berguna untuk menghindari gagasan penciptaan yang akan menjadi bercampur baur dalam proses dialektika pada muatan-muatan estetik dan etikanya. Supaya terjadi edukasi yang baik pada tataran visioner dari para pelaku seni beserta pendukungnya. Banyak seniman yang terinspirasi pada aspek kerusakan Lingkungan dan Alam dalam paradigma penciptaannya justru memberi kesan hanya mengeksploitasi objek alam tersebut. Seniman tidak memberi solusi pada objek yang diamati.

Firman Djamil
Alumni Pascasarjana Institut Seni Indonesia – ISI Yogyakarta.
Anggota AiNIN : Artist in Nature International Network (www.ainin.org)
(www.firmandjamil.blogspot.com)

Melukis dengan Sampah Kertas


Seiring perkembangan Sorowako, penduduk bertambah dan produksi sampah pun meningkat. Hasan Basri dan kelompoknya lalu membuat daur ulang sampah kertas menjadi souvenir menarik.

Di lantai dua sebuah rumah panggung nomor 18, di Jalan Panguriseng, Sorowako, ada sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter. Berdinding tripleks dan beratap seng. Panas dan pengab. Ada dua meja kecil dan rak untuk memajang hasil karya. Ada guci, patung dari kuda, bambu, lukisan timbul, kepala rusa lengkap dengan tanduknya, hingga minitur kapal phinisi. “Semua berbahan kertas,” kata Hasan.

Di dalam kamar kecil itulah Hasan menghabiskan waktunya. Pada Rabu 2 November 2011, dia terlihat telaten menempelkan kertas yang sudah dihaluskan ke cuangan guci. Memberi usapan lem dengan kuas, lalu menekan-nekannya dengan jari telunjuk. Setelah itu, diratakannya dengan sebuah plat besi menyerupai pahat. “Beginian harus sabar,” ujarnya.

Ide mengolah sampah kertas itu dimulai pada Januari 2010 di sebuah warung kopi dan tempat ngumpul, bersama teman-temannya yang belum mendapatkan pekerjaan dan kebingungan mencari aktivitas. Lalu mereka melirik kertas. Caranya, kertas itu direndam dengan air selama beberapa menit, mencampurnya dengan lem, lalu menghaluskannya dengan blender.

Mereka melakukan percobaan beberapa kali. Sekali tidak berhasil, tapi berikutnya tak terulang. Kini, patung-patung, guci, plakat, lukisan, amplop, dan kertas putih sudah diproduksi. Saya senang melihat lukisan kapal Phinisi yang menggantung di dinding, seperti hidup. Diterpa angin dan gelombang. Layarnya membentuk lengkungan. Kalau kalian memegangnya, dan mengusapnya, maka tanganmu akan ikut bergelombang. “Ya, ini lukisan timbul,” kata Hasan.

Menurut Hasan, membuat souvenir karya dari kertas tidak terlalu rumit. Yang susah adalah idenya. Bukan tidak pernah, dia harus menenangkan kepalanya untuk membentuk kreasi dan menghisap rokok. Tapi hasilnya, selain Phinisi itu, jadilah juga sebuah patung Anoa setinggi sekitar 1 meter. Kalau melihat pertama kali, kalian akan keliru dan bisa menduga dari bahan beton.

Di tempat mereka yang kecil itu, setiap hari ada puluhan kilogram kertas yang dilebur. Kertas-kertas itu didapatkan dari kantor PT Inco dan penduduk. Jika dulu perusahaan dan orang-orang berpikir cepat bila melihat sampah kertasnya menumpuk, dibuang atau dibakar. Kini mereka tahu kepada siapa “sampah” itu dialamatkan. “Kami ini tempat sampah, tapi kami senang,” ujar Hasan.

Pada 2011, kreasi mereka seperti guci terjual seharga Rp1, 5 juta, yang dibeli oleh seorang wisatawan Jepang. “Ini adalah harga tertingi yang kami dapat,” kata Hasan. Kelompok kreatif ini mematok harga kreasi mereka dari Rp25 ribu hingga Rp1 juta.

Kelompok daur ulang sampah ini, memberdayakan enam orang. Ada yang mereka beri julukan si ahli melipat kertas, si ahli melukis, atau juga si ahli cetak, dan si ahli ukiran. Dan hebatnya lagi, para pengrajinnya mendapat upah dari Rp500 ribu hingga Rp1 juta setiap bulannya.

“Sebenarnya ini bukan gaji, tapi uang untuk waktu mereka, karena ini adalah karya. Kami menghargai itu,” kata Hasan.

Saya bertemu dengan si ahli ukiran. Namanya, Sinar Rahmat. Usianya 61 tahun, seorang pensiunan perusahaan PT Inco. “Saya yang paling muda di antara mereka,” katanya sembari bercanda – padahal dialah yang dipanggil Pakde.

Rahmat jugalah yang menyediakan tempat bagi kelompok Daur Ulang Sampah Kertas di rumahnya. Tanpa bayaran. Minatnya dengan dunia seni dan menemukan Hasan dan kawan-kawannya seperti mendapat keberuntungan yang sudah lama hilang.

Rahmat adalah orang Jawa. Saat muda, di kampung asalnya ikut menggeluti seni. Dia senang menggambar dan bisa melukis. Tak ahli, tapi dia mencintai. Pada 1960-an akhir, dia ikut rombongan transmigrasi. Datang ke Luwu Utara dan beberapa tahun kemudian bergabung dengan PT Inco di Sorowako, Luwu Timur. Sejak saat itu, dia meninggalkan kebiasaannya berkesenian. “Capek ‘kan pulang kerja. Jadinya hanya mau istirahat kalau sampai rumah,” katanya.

“Sekarang berbeda. Meskipun sudah lama tak menggambar dan mengukir. Ini seperti buat saya kembali muda,” lanjutnya.

Pada Kamis, 17 November 2011, rumah tempat galeri workshop Daur Ulang Sampah (rumah Sinar Rahmat) itu ikut terlalap api dengan 67 rumah lainnya. Pada Minggu, 20 November 2011, saya mengunjunginya, yang tersisa hanya tembok. Lantai dua yang terbuat dari papan kayu, sudah menjadi puing. Tapi, saya belum bertemu dengan Pakde. Semoga dia baik-baik saja.

(Eko Rusdianto bisa dihubungi via eko.mallo@gmail.com)

Catatan: foto atas: Aktivitas di galeri daur ulang sampah; foto bawah: Sinar Rahmat (61) sedang mengerjakan sovenir bambu dari bahan kertas. [foto: Doni Setiadi]

Ketika Kita Berebut Tempat dan Gagasan

Sejumlah komunitas kreatif di Makassar melukis bersama di Taman Segitiga KPJ, Jalan Sultan Hasanuddin, Makassar, 11 November lalu. Acara berlangsung mulai pukul 13.30 Wita hingga 17.30 Wita. Mereka menanggapi ruang publik yang kian sempit karena baliho memenuhi kota yang mereka tinggali.

Baliho menjadi hal lazim dalam kehidupan warga Makassar. Baik kalangan pemerintah Sulawesi Selatan maupun pengusaha menggunakan media ini sebagai bentuk kampanye. Sayangnya, bentangan vinyl di begitu banyak titik, nyatanya, mubazir. Bahkan perkembangan itu ramai tapi bisu—ramai dalam jumlah, namun bisu dalam dampak. Bisu karena pesan yang ditonjolkan tidak lengkap dan membuat audiens tidak percaya bahwa mereka akan merasakan manfaat yang dijanjikan dan tidak membuat mereka terinspirasi untuk bertindak. Pesan apa yang bisa kita tangkap dari baliho Sulsel Go Green yang berisi foto pejabat dengan seragam dinasnya? (Abdullah Sanusi, Baliho Saja Tidak Cukup, http://batangase.blogspot.com/2010/10/baliho-saja-tak-cukup.html, diakses pada tanggal 8 November 2011, 23.01 Wita.)

Oleh pemerhati tatakota seperti Marco Kusumawijaya (2004), fungsi urban management yang rasional layak dikedepankan dalam urban good government, ketimbang kelihaian berpolitik. Pernyataan Marco merujuk pada pernyataan Soekarno kala melantik Ali Sadikin 28 April 1966 silam. Soekarno mengatakan bahwa seorang walikota (baca: pejabat) jangan cuma mengerti bestuurvoering (pelaksanaan pemerintahan), melainkan orang yang tahu “membuat kotanya itu bersih daripada sampah”.

Komunitas-komunitas kreatif Makassar yang turut dalam kegiatan ini antara lain UKM Seni UMI, Kedai Buku Jenny, Hijau Himahi Unhas, Rumah Ide Makassar, RenWarin Management, Abba Art Studio, Kasumba, sejumlah mahasiswa Seni Rupa UNM, Indonesia Sketcher Makassar, dan Tanahindie. Beberapa seniman tampak hadir seperti Rimba, Zaenal Beta, dan Firman Djamil.

Gerakan ini dalam bentuk mengambil beberapa baliho yang sudah kadaluarsa di beberapa titik di Makassar. Baliho yang terkumpul selanjutnya menjadi kanvas melukis bersama di Taman Segitiga KPJ.

Namun pengambilan baliho itu tidak akan dilakukan semena-mena. Komunitas yang ikut dalam gerakan ini tetap mengedepankan negosiasi dengan pihak yang terkait. Tujuannya, agar dialog yang terbangun menyebarkan penyadaran kepada pihak lain terkait pentingnya partisipasi. Pendeknya, kalangan pemberi izin pun berpartisipasi tatkala mereka memberi izin dan menyerahkan baliho yang mereka tanggungjawabi.

Upaya ini memiliki maksud membangun negosiasi antara warga biasa dan sekelompok orang yang memiliki wewenang pada titik-titik pemasangan baliho. Ini penting lantaran ruang outdoor selama ini terbengkalai, tanpa pengelolaan yang baik, sehingga tampak karut-marut dan terbengkalai. Sementara bagi warga, cara ini penting agar diberi ruang yang lebih luas membangun ruang gerak kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. Bagaimana pun aparat pemerintah juga berasal dari kalangan warga yang mengharapkan terciptanya ruang serupa.

Kegiatan ini tidak berhenti di situ saja. Keesokan malamnya, beberapa perwakilan peserta melukis bersama ikut dalam evaluasi kegiatan yang dibingkai dalam bentuk happening art (seni peristiwa). Perupa Firman Djamil menjadi penanggap obrolan santai evaluasi tersebut. Evaluasi memilih Firman Djamil karena perupa ini salah seorang seniman yang menggeluti happening art

Dalam obrolan awal, Ridho, relawan Kedai Buku Jenny, mengakui kalau memang Makassar sudah benar-benar tercemar. “Satu-satunya hiburan bagi saya kalau sedang jalan di kota adalah ibu hamil,” kata Ridho.

Peserta lain, Bram, yang sehari-hari sebagai pengacara, menyatakan hal senada. Namun ia menekankan bahwa kegiatan melukis bersama dari ekspresi psikologis mungkin sudah tercapai. Namun kegiatan ini masih perlu menggali lebih dalam untuk menjawab pertanyaan, terutama, apakah warga juga terganggu baliho di banyak tempat di Makassar?

Firman mengatakan, baliho-baliho itu memang baru sebatas virus. Belum menjadi sampah. Baru mengganggu! Dan di sinilah fungsi happening art sebagai cara berpikir outdoor (luar ruangan). Cara outdoor berarti melawan cara indoor (dalam ruangan), sistem yang dipakai oleh kalangan penguasa karena sistem kerja penguasa serba terkoordinasi atau berbentuk rezim.

“Dengan begitu, seni outdoor juga berebutan tempat untuk dipahami. Itu adalah ruang konfrontasi, tempat gagasan saling berkompetisi mempengaruhi pikiran. Ruang outdoor adalah ruang yang ditawarkan ke banyak orang. Di sana kita mencari solusi dalam kerangka yang berbeda, yakni informal. Ia membangun komunikasi. Selain itu tidak monoculture,” ujar Firman. Monoculture, secara singkat, bisa berarti peruntukkan sesuatu untuk satu tujuan saja.

Firman, yang baru saja menyelesaikan magister Penciptaan dan Kajian Seni ISI Yogyakarta, mencontohkan yang dilakukan mahasiswa HI Unhas datang terlambat ke kegiatan itu karena terjebak macet. “Mereka menggunting baliho sebagai respons terhadap keadaan waktu itu juga.”

Menurut Ridho, salah seorang peserta yang berangkat bersama mahasiswa HI, potongan-potongan baliho didaur ulang karena datang terlambat. Mereka mendapati spanduk sudah rampung dilukis. Mereka mengambil sisa baliho lalu mengguntingnya berbentuk manusia dan bermacam bentuk lain. Bentuk-bentuk itu kemudian mereka lukisi.

Hanya saja, Firman menyayangkan, beberapa orang yang di taman hanya menonton. Ada juga yang tidak melakukan apa-apa lantaran karena tidak mendapat baliho. Ada juga yang datang hanya untuk melukis.

Sementara Anchu, yang aktif di Tanahindie melihat hal lain. Justru yang menarik bagi Anchu adalah jejak-jejak kaki di sekitaran acara melukis bersama.

Jejak-jejak kaki itu terbuat dari guntingan baliho, yang dibuat oleh para anggota UKM Seni Universitas Muslim Indonesia. Jejak itu disebar dari pintu Taman Segitiga sampai di lokasi melukis bersama. Ukuran jejak itu berbeda karena UKM Seni UMI mengambilnya dari para partisipan. Setiap lembar satu pengunjung.

Pertanyaan autokritik kegiatan ini muncul dari Dhany, yang bergiat di UKM Seni Universitas Muslim Indonesia. Dalam acara ngopi di Kampung Buku itu, Dhany mempertanyakan tidakkah juga kita membuat cemar ketika mengambil baliho atau spanduk itu?

“Tidak sama sekali. Kita mengambil baliho karena membuatnya menjadi sesuatu yang lain,” pungkas Firman.[]

Bersempit-sempit di Workshop, Berlowong-lowong di Ruang Publik

KOTA ini berkembang jadi kota metropolis. Begitu kesimpulan Ucup usai mengitari Makassar di malam pertama kedatangannya. “Sedikit lagi seperti Jakarta!” seru Ucup.

“Lima-sepuluh tahun terakhir Makassar banyak membangun ruko,” timpal saya, sekenanya.
 
Ucup—panggilan akrab Muhammad Yusuf, bersama Wibby dan Yunan baru datang dari Bali. Ketiganya adalah anggota Komunitas Taring Padi (TP) yang bermarkas di Yogyakarta. Komunitas asal Ucup dkk merupakan lembaga seni kerakyatan. TP berulang tahun ke-13. Ketiganya menyambangi beberapa kota untuk meluncurkan buku Seni Membongkar Tirani  (Lumbung Press, 2011), sebagai rangkaian ulang tahun TP. Tim TP membagi diri: Ucup dan kawan-kawan ke Bali dan Makassar, Toni Volunteero ke Sumatra. Yunan bilang, sebenarnya mereka berencana ke Timor Leste dan NTT, tapi urung karena pertimbangan penghematan biaya.

“Di sini juga nyamuknya banyak, tidak seperti Bali,” kata Ucup lagi.
 
“Makassar ini dulu rawa-rawa. Pusat perekonomian juga di sini. Mal terbesar cuma sekilo dari sini,” jelas saya.
 
“Eh, di sana ada yang lucu lho, Yun!” seru Ucup ke Yunan. Yunan dan Wibby menoleh.
 
“Opo?” tanya Yunan, dalam bahasa Jawa.
 
“Ada patung boling di persimpangan sana,” Ucup tertawa.
“Lho! Kok bisa?”

Kami terpaksa bergantian menjelaskan ‘aib’ ini. Di bilangan Panakkukang, pernah dibangun sebuah arena boling. Sebagai penanda jalan masuk arena, pemerintah memberi izin membuat patung itu. Arena itu sudah tutup, patung bolingnya masih di situ.

Ucup menggeleng, mungkin tidak percaya, mendengar alasan pembangunannya. Gelengannya makin sering ketika perbincangan kami melebar sampai ke ruang publik yang lain, seperti Lapangan Karebosi yang punya mal di bawah tanah sampai Benteng Somba Opu yang kini punya water boom, sampai intervensi partai politik ke dunia seni.
Ucup dkk menginap di Kampung Buku, yang terletak di Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Kompleks CV Dewi, Kelurahan Pandang, Panakkukang, kawasan yang jadi pusat perekonomian Makassar. Berbeda dengan TP yang berbasis di Dusun Sembungan, Bantul, Yogyakarta. Kampung Buku, perpustakaan yang dikelola sekaligus menjadi markas Tanahindie. Saya merujukkannya kepada Regina, penghubung TP yang giat mengemail dan menelepon beberapa hari menjelang persiapan acara ini meminta tolong mencari tempat tidur buat Ucup dkk. Selain Tanahindie, Penerbit Ininnawa pun berkantor dan berkegiatan di situ. “Teman-teman biasa menginap di sini kalau kepalang malas pulang atau ada tamu yang datang dari jauh. Tapi tempatnya segini saja,” jelas saya ketika jamuan minum kopi di bilik Kampung Buku.

Begitu turun dari mobil taksi dari bandara, sebagaimana yang saya bayangkan, saya bakal bertemu pria-pria berambut sampai punggung. Hanya Wibby yang pendek. Kedua tangan Wibby berajah. Saya malah mengira, ketika menjabat tangan Wibby, saya sedang menyalami Jerinx, drummer Superman Is Dead. Bisa jadi tidak mirip amat; tapi pernik seperti tato dan tindik di telinga Wibby mengingatkan saya pada penggebuk drum SID itu. Ucup, lelaki Lumajang, Jawa Timur, bermata bundar dengan tongkrongan yang mengingatkan saya pada seniman berkawakan, Sawung Jabo. Kulit Ucup coklat, kumis dipelihara, dan tindik peniti sebesar kelingking di telinga kirinya. Ucup dan Wibby alumni ISI Yogyakarta, kala masih berkampus di Gampingan. Sekolah Yunan lain—tamatan Fakultas Hukum di sebuah universitas di Yogyakarta. Yunan bermata sipit. Nama lengkapnya Yunanto. Saya sempat mencurigai nama Yunan hanya sebutan alias atau ‘olokan’ karena matanya yang sipit, merujuk asal-usul nenek moyang Indonesia dari Yunan, salah satu bagian dataran di China sana. Yunan membawa tas besar berisi buku Seni Membongkar Tirani dan beberapa cenderamata TP. “Kami bawa untuk tambah-tambah biaya perjalanan dan subsidi silang buat komunitas,” terang Yunan.

Malam itu, Ucup dkk berencana memajukan workshop cukil kayu, yang sedianya digelar tanggal 12 Oktober. Workshop akan berlangsung sebelum peluncuran dan diskusi buku Seni Membongkar Tirani (Lumbung Press, 2011). Mereka berencana berbagi keterampilan teknik sablon cukil kayu dengan sejumlah komunitas di Makassar pukul dua siang.

Foto: Anwar J Rachman
Esoknya, serambi dan halaman Kampung Buku menjadi luas. Rak buku besar kami pindahkan, sekalian bersih-bersih, sejak pagi sampai siang.

PUKUL 14.00 Wita, para undangan berombongan berdatangan. Saya tak menyangka peserta sebanyak ini. Lima puluhan orang menyesaki Kampung Buku. Jumlah berdasarkan mereka yang mengisi daftar hadir, kendati banyak yang tidak mengisi absen—karena baru datang berombongan dengan motor atau mobil, yang harus rela mengambil tempat di gerbang atau duduk di luar saja. Sampai-sampai saya harus merelakan dua tunas bunga Lidah Mertua yang saya tanam di halaman depan. Kemungkinan besar patah. Begitu juga serai yang baru ditanam dua pekan lalu. Mungkin, pikir saya, inilah risiko yang harus ditanggung bila acara di halaman yang tak seberapa luas. Teringat hari-hari yang saya lewati menyiram tanaman itu. Aduh, bisa mati seketika terinjak orang yang bermata tidak awas. Tapi ini memang kejadian pertama. Kampung Buku sering ramai, setidaknya sebulan sekali. Tapi sejak Tanahindie menggelar layar gerobak bioskop Dewi Bulan pada awal tahun 2011, halaman itu terpelihara dan tanaman aman-aman saja karena kegiatan Dewi Bulan berpusat di jalan depan Kampung Buku.

Latihan penyablonan cukil kayu berlangsung di sekitaran rumpun bunga dan tanaman mulai pukul 14.00 sampai 17.40 Wita. Antusiasme dan banyaknya komunitas kampus atau luar mengikuti wokshop seperti melunasi semua perasaan dan pikiran saya tentang tanaman-tanaman tadi. Saya memperkirakan, peserta banyak dari kampus UNM, UIN, dan sekitarnya.

Foto: Armin Hari
Sebelumnya Abba’, seorang perupa lulusan UNM, berjanji datang kendati bisa jadi telat.
“Saya tidak langsung ke Kampung Buku. Saya harus jemput teman-teman di Kasumba (komunitas seni di bilangan perbatasan Makassar-Gowa) dan UNM untuk mengantar karena mereka tidak tahu di mana Kampung Buku,” kata Abba, semalam Semalam workshop. Abba ini, bila tiba jadwal pemutaran film Gerobak Bioskop Dewi Bulan, sangat rajin membawa barang kerajian dan lukisannya buat dijual atau sekadar dipajang. 
 
Abba menepati janji. Dengan skuter tuanya, Abba menggiring rombongan dari UNM. Ada Rimba, yang dikenal sebagai seniman air brush, Ical dan kawan-kawan. Rimba adalah objek penelitian Abba saat menyelesaikan tugas akhirnya di jurusan Seni Rupa UNM. Abba, mahasiswa angkatan 2003 itu mengangkat karya air brush Rimba di kanvas. “Biasanya air brush itu di motor,” jelas Abba, dalam kesempatan lain. Kedai Buku Jenny juga menggelar lapak buku-bukunya. Titin dan teman-teman Infoshop Linonipi juga datang, meski terlambat. Mereka duduk di emperan luar Kampung Buku. Linonipi membawa zine, rekaman lagu dari komunitas punk. Wibby sempat membeli rekaman tersebut. Bram, kawan lama yang aktif di LBH, juga datang terlambat, sedang kawan-kawannya dari UKM Seni UMI hadir lebih dulu. Bram menyampaikan via sms kalau sedang hadir dalam sebuah persidangan. Hari itu, belum selesai workshop, Bram lagi-lagi tergesa-gesa. “Ada teman mahasiswa ditangkap polisi.”
 
Foto: Armin Hari
Sayangnya, plat MDF (multipleks yang mengandung serbuk kayu) yang dibagikan Ucup cuma dua puluh lembar. Peserta workshop yang tidak kebagian tetap menunggui kawan dan peserta lain menyelesaikan cukilan. Seraya menunggu selesai cukilan peserta, Ucup, Wibby, dan Yunan meminta peserta lain yang membawa kaos bila ingin disablonkan materi cukilan yang sudah mereka siapkan dari Yogyakarta.
 
Pelatihan berjalan hingga pukul 17.40 Wita. Acara berlanjut dengan pemutaran film Indonesian Art, Activism, Rock n’ Roll dan Bercermin dalam Lumpur—dua film dokumenter tentang TP dan kegiatannya menyuarakan hak-hak warga yang tergenang semburan lumpur Lapindo.
Hanya beberapa saat usai pemutaran rampung, Wibby mengambil gitar, Yunan memegang jimbe, dan Ucup menunggu keduanya bersiap. Mereka hendak menyanyikan lagu-lagu yang dipakai TP sebagai materi pendukung dalam berkesenian. Untuk penampilan itu, Ucup dkk mendapat ‘hadiah’ ballo, tuak khas Makassar. Entah siapa yang bawa. Yang pasti, sejak baru tiba, Ucup bercerita mereka kenyang arak Bali saat peluncuran di Pulau Dewata.
Usai bernyanyi dan mendapat tepuk gemuruh dari peserta workshop, diskusi peluncuran buku Seni Membongkar Tirani pun digelar.

Ruang Publik dan Berjaringan
PELUNCURAN buku Seni Membongkar Tirani berlangsung setelah separuh peserta sudah pulang. Beberapa aktivis seni dari UNM tinggal, termasuk Abba cs, juga kawan-kawan yang bergiat di Infoshop Linonipi. Penekanan obrolan peluncuran tak lain dunia seni yang dikembangkan Taring Padi menjadi pijakan membicarakan perjalanan dunia berkesenian di Makassar. Dua pembicara dalam obrolan adalah Darmadi, alumni jurusan Komunikasi Unhas yang bergiat di Tanahindie dan Ucup sendiri.
 
Ucup membuka diskusi peluncuran. Ia mengatakan buku Seni Membongkar Tirani sebagai pintu masuk dialog bagaimana berjaringan selama 13 tahun. Ucup juga sempat bilang kalau ia bangga karena telah berbuat sesuatu, tentang isi kepala dan lama bekerja. Buku itu, kata Ucup, sempat tertunda pencetakannya selama tiga tahun karena biaya cetak dibutuhkan TP sangat besar.
 
Buku Seni Membongkar Tirani memang menyita perhatian: 338 halaman, 24.3 cm x 19.5 cm, kertas bulky 90 gram—tebal untuk ukuran buku biasa. Sampulnya berlapis kain, hardcover atau sampul tebal, jilidan dijahit, penuh gambar dengan warna berpiksel besar (yang dari koleksi TP dan jaringannya). Informasi tambahan dari Yunan bahwa sampul buku beroplah 1000 eksemplar itu dicetak manual. Ya dicetak sablon cukilan kayu. Sayang, harganya Rp250.000/eksemplar.
“Kami akui itu mahal. Harga itu kami diskusikan selama tiga hari di Taring Padi. Yang kami pertimbangkan, keterbacaan. Namun ada pula pertimbangan lain, yakni buku ini merupakan dokumentasi dari perjalanan Taring Padi selama 13 tahun,” terang Ucup.

Buku Seni Membongkar Tirani berisi tiga belas tulisan dari banyak kalangan terkait karya-karya dan perjuangan TP selama ini. Tidak ada penulis dari internal TP. Semua ‘orang luar’ yang melihat TP dari dekat. Buku ini dilengkapi gambar-gambar kegiatan dan karya-karya TP. Ditambah keterangan di bagian kolofon bahwa ‘karya ini (maksudnya Seni Membongkar Tirani) menerapkan lisensi Creative Commons untuk keperluan nonkomersial’. Artinya? Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berdiri pada 1998 itu membolehkan penggandaan karya-karya dalam buku itu. Bahkan bila diperlukan, kata Ucup, ia siap mengirimkan file gambarnya bila memang diperlukan, seperti TP lakukan beberapa waktu lalu dengan InsistPress yang berencana menjadikan salah satu karya TP sebagai sampul buku.
 
Ucup memberi gambaran besar bahwa TP awal terbentuk hanya ‘main-main’. Ada orang berkebutuhan yang sama dan bervisi yang sama. Untuk membuat karya, mereka menempuh cara-cara komunal, dengan membayar iuran untuk membuat karya bersama. Karya-karya pertama TP adalah Rukun Agawe Sentosa, Bangun Nusantara Tanpa Darah, Semua Bersaudara, Senjata Tidak Menyelesaikan Masalah, dan Perang Hanya Mempersulit Keadaan, seri poster yang dibuat pada 1999 silam, merespons perpecahan anak bangsa lantaran kran demokrasi terbuka. Kerusuhan berbau SARA merebak. TP merebut ruang publik untuk menyampaikan pesan-pesan perdamaian yang mereka buatdalam bentuk poster maupun zine atau media pekabaran lain.

Tanpa mengecilkan upaya para seniman di Makassar selama ini, namun menyebar kesan bahwa para perupa di Makassar ‘jalan di tempat’. Menurut Darmadi, itu lantaran lebih banyak ‘mengabdi’ pada kekuasaan; dengan demikian cenderung berkarya berdasarkan pesanan. Wartawan Koran Tempo Makassar, Ichsan Amin, juga membeberkan pembacaan yang seragam.
 
 “Seniman Makassar tidak berorientasi ideologis. Mereka masih jalan sendiri-sendiri. Hadirnya Taring Padi membawa perbandingan yang baru. Ayo gabungkan banyak hal!” kata Ichsan, seperti memberi semangat kepada yang hadir.
 
Timpalan lalu datang dari Ical, seorang seniman dari kalangan UNM. “Ya, susah juga kalau tidak menjual karya, kita mau makan apa,” jelas Ical.
 
Ucup menegaskan: merebut ruang publik adalah kewajiban. “Untuk konteks Makassar, ruang-ruang semacam itu, saya perhatikan sekilas, masih sangat luas. Itu yang perlu teman-teman di Makassar rebut bersama. Jalan adalah ‘panggung’ teman-teman. Di situ bisa ‘memajang’ karya agar orang lain bisa mengenal karya teman-teman. Jadi kalau ditanya mana seniman di Makassar, pembacaan dilakukan lewat jalan tadi,” begitu Ucup, yang juga salah seorang kurator gambar Seni Membongkar Tirani, menyarankan.
 
Ucup katakan demikian sebab ia melihat begitu banyak tembok yang masih kosong. “Ruang publik semacam di sini (Tanahindie) bisa digalakkan untuk menyatukan visi teman-teman di Makassar. Terbitan-terbitan juga bisa menjadi tempat memajang karya teman-teman, mulai dari tulisan, karya lukis, dan ragam karya yang lain. Tidak perlu yang mewah. Fotokopi sudah cukup. Yang penting tersebar. Itu TP lakukan waktu menerbitkan Terompet Rakyat (media berkala TP). Semua jalan itu memungkinkan karya teman-teman bisa terbaca dan dinilai kawan yang lain,” tambah Ucup.
 
Dengan demikian, jaringan adalah hal yang niscaya. Menurut Ucup, memang payah bila seniman jalan sendiri. Pasti kalah. Ucup menceritakan, ketika ia bergabung dalam komunitas (baca: TP), ada kawan yang lain menguasai jaringan-jaringan. Dengan berkomunitas, cetus Ucup, seniman bisa lebih dinamis karena mengalami proses bertukar pikiran dengan seniman atau kalangan lain.
 
Proses penerbitan Seni Membongkar Tirani bisa menjadi contoh bagus untuk menjelaskan bagaimana bekerja berjejaring. Dalam sebuah perbincangan sehari sebelum peluncuran, Ucup mengatakan bahwa penyusunan buku yang memuat karya-karya TP selama 13 tahun bukan pekerjaan gampang. Pasalnya, salah satu kelemahan terbesar TP tak lain pengarsipan. Banyak karya dan foto-foto justru dimiliki oleh para sahabat TP yang bersebaran di dalam negeri maupun di luar negeri. Malah seniman-seniman TP tidak punya. “Waktu mau diterbitkan, kami harus menghubungi satu per satu teman-teman yang punya dokumentasi karya atau dokumentasi kegiatan TP. Syukurlah mereka kirim ke TP,” terang Ucup.

Peserta diskusi lainnya, Armin, membeberkan soal lain pula. Perkubuan di kalangan seniman sendiri memandekkan kesenian di Makassar. Armin memberi contoh, perseteruan yang terjadi tidak melahirkan karya. Lebih banyak menciptakan gosip. “Harusnya karya dibalas karya!” cetus Armin.

Menanggapi soal karya pesanan, Ucup mengatakan tidak ada salahnya seniman menerima pesanan. Tapi dengan catatan, itu tidak mendikte seniman yang bersangkutan. Seniman tetap harus bebas berkarya. Bagaimana pun, kata Ucup, musuh kita bersama adalah imprealisme. Ucup mencontohkan bagaimana TP tetap menerima pesanan, dengan catatan tidak menyalahi ‘koridor’.
 
Pernyataan Ucup tadi disambut Eka, relawan Linonipi tentang logo Ford Foundation (FF) di sampul belakang buku Seni Membongkar Tirani.
 
“FF yang membiayai penerbitan Seni Membongkar Tirani berkat teman kami, Heidi. Untuk soal ini, kami melakukan pembicaraan yang panjang dan rumit. Pikiran kami, ide penerbitan buku ini sudah ada sejak lima tahun lalu. Kalau tertunda, kapan bisa terbitnya. Sementara pula TP maunya terbit seperti rencana semula, dokumentasi karya-karya TP. TP mensyaratkan bila FF membiayai penerbitan Seni Membongkar Tirani, selama tidak ikut campur dalam proses penyusunan dan penerbitan,” papar Ucup. Heidi yang disebut Ucup itu tak lain Heidi Arbuckle, mantan istri Toni Volunteero. Heidi juga pernah meneliti TP kala menyusun tesis berjudul Taring Padi and the Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary Indonesia.
 
Kembali ke soal bagaimana seniman bersiasat, Ucup menyarankan agar para seniman di Makassar tetap membuat karya. Bagaimana pun, karya adalah investasi. “Makassar itu potensial karena banyak isu lokal yang belum dimunculkan. Tugas kita adalah membuat isu kontekstual dengan wacana kesenian sekarang,” kata Ucup.

Catatan Kecil perihal Pengalaman Bersama 
HAL yang mengharukan usai acara itu adalah beberapa peserta yang masih tinggal ikut merapikan Kampung Buku. Mereka membersihkan dan menyapu sampah yang terserak. Setidaknya, kebersamaan mencuat saat itu. Ada sebuah ruang, meski kecil, tampaknya, mereka ingin jaga bersama. Semoga dari cara memandang seperti inilah dunia seni (dalam arti yang luas) di Makassar bisa dirawat bersama. Ruang memang kelihatannya harus diselenggarakan bersama—kendati oleh segelintir orang saja. Mereka, setidaknya, percaya bahwa semua harus dimulai dari tindakan kecil saja.
 
Saya jadi ingat cerita Ucup dan kawan-kawan ketika TP mendampingi masyakarat Porong yang terkena lumpur Lapindo. TP membuat malam amal dengan pameran karya, menjual cenderamata, hingga menggambar tato selama tiga malam. Dalam acara ini, TP berhasil mengumpulkan sekisar Rp30 juta. Pada malam amal seperti itu, begitu banyak kalangan yang datang menawarkan bantuan, termasuk tukang parkir. Para tukang parkir menawarkan diri untuk menyisihkan donasi buat TP Rp500/kendaraan!
 
Saya jadi takjub pada jaringan TP yang sudah sampai ke lapisan masyarakat yang tak pernah mendapat perhitungan. “Pengalaman bareng itu sulit didapat di tempat lain,” ujar Ucup.
 
Saya berani taruhan: Ucup benar!


Panakkukang, 17 Oktober 2011

Film Makassar di Bulan Puasa

“Sayang saya tidak bisa ikut. Bulan depan saya usahakan. Cinta bisa diputar Dewi Bulan kapan saja.”

Saya baru saja menghubungi Rusmin Nuryadin, dedengkot Rumah Media. Saya mengundangnya ikut dalam salah satu agenda gerbios Dewi Bulan, sekaligus minta izin putar film garapannya. Saya bergabung dalam Tanahindie sejak April 2011, sejak mengurus program Gerobak Bioskop Dewi Bulan bersama senior saya, Nur Mumammad Ahmad dan teman seangkatansaya, Hafsani Latief. Hanya saja karena kendala, Sani melewatkan tiga episode terakhir Dewi Bulan.

Untuk episode kali ini, saya bertanggung jawab mengumpulkan materi film lokal Makassar. Ide memutar film-film indie Makassar terselip dalam candaan kakak Anwar Jimpe Rachman di satu malam bergelas-gelas kopi. Film-film yang akan diputar pernah booming di Makassar. Cinta samadengan Cindolo na Tape, besutan Rusmin Nuryadin, Delusi karya tangan terampil sutradara muda bernama Aditya Ahmad dan terakhir milik sutradara dari komunitas FreeMovie asal Ambon, Ronald Renwarin Rey, berjudul No Entry.

Aditya mengonfirmasi ketidakhadirannya. Ia dan Rusmin akan syuting Video Klip band lokal Makassar pada sabtu malam, 13 Agustus 2011, bertepatan dengan turunnya Dewi Bulan. Praktis, hanya Ronald Renwarin Rey yang berkesempatan menyaksikan lolongan Dewi Bulan episode ini.

Malam sebelumnya, di salah satu Warkop tempat teman-teman Kampung Buku sering menghabiskan malam, Rey terlihat sangat antusias mendengar cerita Reysha tentang Gerbios Dewi Bulan.

“Saya su dengar tentang Dewi Bulan sejak beberapa bulan lalu. Saya juga penasaran, kapan bisa datang ke sana. Senang ka’ dapat ini undangan,” timpalnya malam itu. Rey kemudian mengeluarkan sampel film yang akan diputar. Reysha memutar satu-persatu keping DVD tersebut. Hanya satu yang lulus Lembaga Sensor-sensoran Dewi Bulan, No Entry. Tema film besutan Rey terbilang kontroversial. Mulai dari seks bebas, narkoba, trans-genders sampai isu SARA. Jika tema-tema tersebut dikemas dengan bungkusan yang lebih soft, mungkin akan lulus sensor. Namun sebagian besar adegan disajikan dengan gaya vulgar khas Rey. Rey mahfum alasan mengapa dua film lain tak bisa diputar.

“Gambar-gambarnya terlalu berani. Takut nanti digrebek FPI. Hahaha.. lagipula kami akan nembak layar di tengah jalan dan ditonton masyarakat umum. Takutnya mengganggu,” jelas Reysha setengah bercanda.

“Tidak apa-apa. Ini ramadan juga, nanti ada apa-apa,” lanjutnya, tertawa. Pertemuan malam itu ditutup dengan janji Rey mengikutsertakan kru dan cast No Entry.

Halaman Kampung Buku mulai ramai satu jam sebelum Pasar Komunitas digelar. Tiga meja diatur sejajar menghadap jalan utama kompleks perumahan BTN CV Dewi. Barang-barang harga miring, mulai dari pernak-pernik sampai kepingan kaset jadul ditata apik di atasnya. Saya tiba dua jam sebelum kegiatan kedua dimulai, Buka Puisi. Satu agenda khas ramadhan, berbuka puasa bersama di halaman Kampung Buku sambil sental-sentil puisi. Bukber kali ini disponsori langsung oleh Barack Aziz Malinggi. Barack sendiri dikenal sebagai tim sukses lahirnya buku Makassar Nol Kilometer bersama Mansyur Rahim, penasihat teknis Gerbios Dewi Bulan. Selain Barack, mahasiswa fakultas Ilmu Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin juga turun tangan. Lebih dari lima orang mahasiswa memadati Kampung Buku.

Ada kabar buruk dari Rey, ia tak sempat menghadiri rangkaian acara satu ini. Fatah Tuturilino, komposer lagu Hukum Kekekalan Tawa (OST. Aliguka) juga batal hadir. Reysha berpikir nyaris tak mungkin menjalankan kegiatan ini sebab mereka kekurangan narasumber. Sejatinya tidak ada satupun usaha yang gagal, kegiatan tetap berjalan apa adanya. Bincang-bincang berlangsung sambil menikmati suguhan makan malam di halaman Kampung Buku.

Setelah bincang-bincang, pendorong Gerbios harus menunggu selesainya shalat taraweh kurang lebih dua jam. Waktu transisi ini digunakan penonton untuk ngobrol santai di halaman. Beberapa menit kemudian, Pasar komunitas menyepi. Tiba-tiba saja tercipta ruang lapang di halaman Kampung Buku. Tidak sepadat sebelum Buka Puisi. Inilah masa di mana Gerbios bisa kehilangan satu-persatu penonton atau malah menambah lebih banyak penonton. Dewi Bulan telah melolong sebanyak empat kali di Kampung Buku. Penonton yang datang selalu beragam. Biasanya ada yang hilang di tengah-tengah pemutaran. Bisa jadi musababnya mereka kurang nyaman dengan suasana Gerbios. Variasi penonton selama ini juga kurang. Paling-paling mereka, penggiat Tanahindie dan Kampung Buku, dan kenalan-kenalan mereka. Target utama Gerbios, masyarakat sekitar kompleks malah kurang.

Ada berapa kali Reysha ditanyai warga kompleks. “Apa itu rame-rame di Kampung Buku?” Saya menceritakan program mereka ala kadarnya dan mengajak mereka penuh keramahan. Seperti penduduk kompleks kebanyakan, Sabtu malam adalah malam keluar kompleks. tentu ini membuat mereka melewatkan episode Gerbios. Biasanya yang tertinggal di portal kompleks hanya para pemuda yang sering mangkal di warnet dekat Kampung Buku.

Malam itu, mereka mangkal di portal. Saya mencoba ngobrol dengan mereka, mengajak mereka turut menonton. Tiba-tiba melintas anak-anak kompleks menuju masjid. Mereka juga menanyai saya hal yang sama. Cukup lama ngobrol, Reysha berhasil mengajak mereka menengok Pasar Komunitas dan menyentuh rak-rak buku Kampung Buku. Anak-anak tadi pun ikut menjejali halaman rumah. Mereka diberi ComicalMags dan sajian buka puasa. Gerbios belum pernah seramai ini. Penonton bertambah, bak semut hitam mengerumuni sepotong roti bakar rasa cokelat. Layar pun ditembak, Dewi Bulan mulai melolong!

Bioskop Dewi dibuka oleh film Cinta, drama cinta pertama yang menggelitik dan telah memperoleh 10 nominasi di festival film pendek nasional. Selanjutnya, No Entry. Ada sedikit kekuatiran terhadap penonton, mungkin akan kaget dihadapkan pada tema film tersebut, namun sang sutradara memberikan arahan yang menarik sebelum film diputar, membuat penonton bisa menikmatinya dari sudut pandang yang diharapkan Rey. Agar tema lebih beragam, Nur Muhammad Ahmad mengusulkan (Jangan) Ada Kusta di antara Kita, sebuah film dokumenter bikinan M Aan Mansyur yang tergabung dalam kompilasi film In-Docs. Sebagai film pamungkas, Delusi tepat jadi pilihan saya. Dari segi tema dan teknik, film ini terlihat bagus bibit, bebet, bobotnya. Teknik, colour correction, cinematografi, dan casting berpadu dalam bungkus film pendek drama dewasa eksperimental.

Di awal terbentuknyanya Gerbios, Mansyur Rahim membuat akun grup untuk program ini di Facebook dan akun twitter @dewiboelan. Reysha menyempatkan diri membuka dua akun ini. dari twitter, ia mendapati @dewibolen di-mention beberapa kali. Ada yang menanyakan kapan lagi Dewi Bulan melolong dan ada pula yang meminta penjelasan apa itu Gerbios Dewi Bulan. Di Facebook, seorang pemain film menanyakan hal yang sama. Dia berjanji akan menghadiri Gerbios episode 7 bulan September 2011.

Sampai di sini dapat dipelajari bahwa publikasi Gerbios belum maksimal. Pemanfaatan akses dan situs jejaring sosial tidak bisa dijadikan andalan utama. Demikian pula dengan penyebaran isu via sms atau telepon. Masih ada di antara penonton kita yang membutuhkan selebaran berupa pamflet atau brosur. Jika dua jenis media informasi ini dimaksimalkan, tentu Gerbios akan semakin ramai.

Sampai saat ini, sejak tahun 2008, tahun itu salah satu harian kota melancarkan program Cinemalicious, workshop penggarapan film yang digelar dari sekolah ke sekolah. Mulai saat itu lahir puluhan film indie yang mengangkat tema lebih Makassar. Workshop itu ditutup dengan lomba. Satu film berjudul Perempuan disematkan predikat Film Terbaik, karya siswa-siswi kelas tiga Man Model Makassar. Skenario dan sinematografi dirancang sendiri oleh saya.
Geliat perfilman Makassar juga tertangkap di berbagai universitas. Liga Film Mahasiswa Unhas mengadakan Diksar 7 di tahun yang sama. Dan diam-diam, M Aan Mansyur, Rusmin Nuryadin, Arman Dewarti serta Anata Aulia Kautsar bersama Rumah Ide dan komunitas film lainnya sedang menggarap film berjudul Aliguka. Mereka pun tergabung dalam Forum Film Makassar. Aliguka akhirnya menjadi film yang paling banyak ditonton dan diputar selama tahun 2010, dibintangi musisi dan aktor jebolan fakultas Seni UNM, Iip Level dan aktris cantik Fadila Ayu Hapsari.

Akhir tahun 2010, bersama beberapa kru Aliguka, di antaranya Andi Burhamzah, Andi Rio Supriadi, dan Andi Pangerang Maulana, saya menggarap film bergenre drama komersil kedua setelah Aliguka berjudul Perempuan Kami. Film ini mendapat respons yang bagus dari masyarakat dan telah berkali-kali diputar di Maros.

Sejauh ini, menurut M Aan Mansyur komunitas film Makassar dibilang kurang percaya diri. Materi cerita dan sarana sebenarnya ada, namun mereka tak percaya diri menunjukkan tajinya. Tidak bisa dipungkiri, antusiasme penonton Makassar tak sepanas masyarakat di Jawa sana. Apresiasi terhadap karya lokal, jangankan film, dalam berbahasa saja mereka kurang percaya diri. Namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan. Walapun kesannya kurang direspon, toh kaum minoritas penggiat film lokal masih berani menunjukkan kemampuan mereka. Tema Gerbios Dewi Bulan Agustus ini memang berangkat dari wacana tersebut. Menurut Anwar Jimpe Rahman, apresiasi yang kurang kemungkinan besar berasal dari ketidaktahuan mereka mengenai perfilman lokal. Konsep tembak layar Dewi Bulan adalah salah satu cara mendekatkan masyarakat dengan film-film lokal. Ada banyak masyarakat yang ingin nonton tapi tidak tahu nonton di mana. Banyak yang ingin berkomentar, tapi apa yang mesti dikomentari?

[eki]