Gunting Tua Keluarga Siak Tjie Boen

Pak Hong, 65 tahun sedang sibuk menjahit, saat saya mendatangi rumahnya, sekaligus gerai menjahit miliknya di Jalan Somba Opu. Nama gerainya, Mei Loen. Gerainya seperti ruko seluas 4x4 meter, sekitar 20 meter sebelum berbelok ke Jalan Ranggong. 


Di dalam gerai itu, hanya ada mesin jahit tua merek Butterfly, lemari dinding pintu kaca, dan sebuah meja besar seukuran perut orang dewasa. Meja besar ini digunakan sebagai tempat setrika. Mei Loen juga adalah rumah tinggal berlantai dua. Mei Loen, sebagaimana bentuk fisiknya, masih seperti 70 tahun lalu.


Yang berubah, sejak peristiwa "pengganyangan Cina" di tahun 1965, papan namanya, tulisan kanji cina, diturunkan dan berganti  menjadi Penjahit Indah Jaya. "Namanya saja yang berubah. Dulu kan tidak boleh menggunakan nama China," kata Pak Hong. 


Pak Hong nama aslinya, Siak Kam Hong. Sama seperti kejadian tahun 1965, ia juga mengubah namanya menjadi Suparto Samsi. "Saya dulu sempat sekolah Tionghoa, tapi hanya sampai kelas dua SMP saat kejadian itu," ucapnya. Pak Hong ulet bekerja. Di tangannya, sebagai penjahit kelas ulung, ia sangat berpengalaman. 


Hasil kerjanya rapi. Mulai dari guntingan dan jahitannya rapi, tanpa cacat sama sekali. Ia belajar turun temurun dari bapaknya, Siak Jie Boen. Di Jalan Somba Opu, Toekang Menjahit Mei Loen sangat terkenal. Ayah Pak Hong bekerja di tempat ini tahun 1930-an. "Waktu itu, bapak masih numpang menjahit sama keluarga asal cina daratan," kata Pak Hong. 


Pak Hong memperlihatkan sebuah foto tua. Ia menghitung penanggalan di tahun cina yang ditulis dengan huruf kanji. "Ini tahun 1940-an, bapak saya menikah di sini," katanya. Jari telunjuknya, menunjuk samping kanan foto, seorang pria bertuksedo dengan rambut belah tengah. "Ini pemilik asli Mei Loen," ucapnya, mengenang. 


Dua puluh lima tahun kemudian, pria bertuksedo itu pindah ke China Daratan. Masa itu adalah masa sulit, sebab terjadi "pengganyangan Cina", akibat meletusnya gerakan 30 September 1965. "Akhirnya bapak saya diwarisi Mei Loen. Seluruh keluarga pemilik usaha jahit asal China daratan itu pindah ke China," kata Pak Hong. Di masa Mei Loen berjaya, pelanggannya adalah pejabat. Mulai dari pejabat Belanda yang bermukim di Makassar, hingga di masa pendudukan Jepang. 


foto: Iqbal
Saya tidak tahu, apa yang istimewa dari penjahit sekelas Pak Hong. Ia menggunting memang sangat rapi. Setelah saya perhatikan, alat gunting yang ia gunakan tidak biasa, sangat tua, dan gagangnya--tempat ibu jari dan tiga jari lainnya tampak berkarat. Saya menerka, karena merek yang terukir sudah tak jelas. Terkaan saya, mereknya adalah Solingen, buatan Jerman dengan ukuran 8-9 sentimeter. 


Tajam, tentu saja, karena rajin dirawat. Saya tidak menyangka, gunting tua itu adalah harta Pak Hong yang sangat berharga. "Gunting ini peninggalan turun temurun dari semenjak berdirinya Mei Loen," katanya. Saya lebih kaget lagi saat ia menunjukkan gunting besi lainnya sebanyak enam buah. Semuanya pegangan atau gagangnya terbuat dari besi. "Saya tidak punya gunting yang pegangannya dari plastik. Semuanya dari besi," katanya. 
Saya mengira, dengan gunting itu, Pak Hong adalah seorang yang ulet. Saban kali ia menggunting selembar kain, ia menggunakan gunting tua pertamanya, merek Solingen. Jika sekadar menggunting benang, Pak Hong menggunakan gunting yang lebih ringan, tapi masih bergagang besi. Saya memegang gunting tua Solingen itu. Gagangnya hampir aus akibat termakan keringat. "Iya ini karena keseringan dipakai, makanya gagangnya yang terbuat dari besi juga mulai menipis," kata Pak Hong. 


Pernah, tahun lalu tepatnya, seorang bule mengunjungi gerai Pak Hong. Ia memandangi gunting tua Pak Hong. Lalu meminta melepasnya. "Buka harga, saya beli gunting tua itu," Ucap Pak Hong meniru bule itu. Tentu saja, Pak Hong menolak. 


"Berapa pun harganya, saya tidak terima. Uang bisa dicari, masalahnya ini gunting ada nilai historisnya."  


Pak Hong, barangkali, terakhir menjadi tukang jahit. Ia tahu, gerainya sendirian sebagai tukang menjahit. Jalan Somba Opu, memang didominasi para pedagang emas asal Kanton. Meski, Pak Hong asal Kanton, ia tak lagi berencana mewarisi profesi menjahit kepada anaknya. Tiga anaknya, sukses, dan mandiri. Dua anaknya, ada yang bekerja sebagai Insinyur bangunan, dan di perusahaan swasta. 


"Ya, saya pasrah saja. Yang penting mereka senang dan bahagia," ucap dia, sembari berharap, keturunannya kelak, ada yang menyimpan benda tua keluarga. Salah satunya gunting tua merek Solingen itu. "Gunting ini keberuntungan barangkali buat keluarga saya."


[Baba Liong]

Dari Poso ke Masamba


Pada Juni 2011, saya melakukan perjalanan mengitari selangkangan kaki pulau Sulawesi, tepatnya Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Rutenya berangkat dari Makassar Sulawesi Selatan, transit di Palu Sulawesi Tengah, lalu Poso juga Sulawesi Tengah, dan kemudian ke Masamba, Sulawesi Selatan. 


Perjalanan dari Makassar menuju Kota Palu saya tempuh dengan pesawat udara, sekitar 1,5 jam. Lapangan udara di Palu cukup kecil. Ketika turun dari pesawat, di lantai dua ada semacam teras yang dipenuhi puluhan orang. Sambil teriak-teriak memanggil nama seseorang, mereka melambai-lambaikan tangan.  


Ruang tunggu bandara Palu cukup kecil. Halaman depannya juga kecil. Seperti serambi rumah saja. Saya melihat beberapa orang meneguk kopi di kedai bandara. Di Palu sulit mendapatkan kopi khas, saya hanya dapat kopi cap Kapal Api. 


Saya dijemput seorang kawan, namanya Ado. Dia adalah kawan saya semasa kecil di Belopa, Sulawesi Selatan. Dia ke Palu mengambil kuliah komputer dan ikut dengan kakaknya yang bekerja di Palu. Dia menjemputku dengan kendaraan roda dua. Ketika kami meninggalkan bandara, hujan gerimis turun mengantar kami. 


Ado bilang, kalau saya agak beruntung karena dapat hujan. Kalau tidak, makanya inilah kota yang sangat panas. Saya tentu mafhum karena memang Palu dilalui garis khatulistiwa. “Bisa sampai buka baju,” kata Ado. “Saking panasnya toh,” lanjutnya. 


Ketika sampai di rumah kakak Ado, kami istirihat dan ngobrol sejenak. Kami meneguk air panas, bukan kopi tapi teh. Ini agak buat saya heran, Ado adalah pecandu kopi semasa di kampung kami. “Memang ada kopi di Palu tapi jelek sekali. Terlalu berampas dan sangat tidak enak. Baunya juga tidak sedap,” katanya. 


Saya nginap semalam di Palu. Karena pagi baru mendapat mobil menuju Poso. Pada malam itu saya mengunjugi beberapa teman, lalu berkeliling kota. Tak ada yang menarik mata di Palu. Hanya ada taman kecil di garis pantai dan kedai yang berjejer. 


DI SEBUAH jalan beberapa mobil ukuran mini bus berjejer. Diantara kendaraan itu saya memiliki tiket penumpang. Saya duduk dikrusi paling belakang. Sekitar pukul 09.00 saya meninggalkan Palu menuju Poso. 


Wuih, jalan dari Palu ke Poso cukup menarik. Pemandangan sepanjang jalan cukup menyejukkan. Udara yang masuk melalui jendela mobil sangat sejuk. Sisi jalan ada jurang dan tebing. Jalannya meliuk-liuk seperti ular. 


Saya tiba di Poso pada sore hari. Dijemput seorang koresponden MNC. Pertama melihat Poso saya cukup tertegun. Kota ini cukup cantik dan berpenduduk ramah. Jalan-jalan kotanya kecil. Saya mengunjungi Poso dalam tugas peliputan dari Majalah GATRA. Menemui beberapa orang dan bercerita dengannya. 


Poso menjadi buah bibir lagi karena tim Densus 88 turun ke sana untuk mencari pelaku penembakan anggota kepolisian di Palu. Para pelaku berasal dari Poso. Tapi kemudian, setelah pelaku itu tertangkap, anggota Densusu 88 masih terus memburu kawanan para pelaku. Mereka menganggap bila pembunuhan itu melibatkan jaringan teroris. Dan mereka menduga Poso adalah markas salah satu jaringan keras teroris untuk melakukan pelatihan. 


Tapi, ternyata pandangan itu tidak dibenarkan oleh beberapa warga. Beberapa orang yang saya temui mengatakan, bila Poso selalu diobok-obok. “Kami sebenarnya tak peduli dengan pelaku penembakan itu. tangkap saja. Tapi sudahlah jangan ganggu kami lagi, kami mau hidup tenang,” kata salah seorang warga. 


Tahun, 1998 di kota ini memang terjadi konflik saudara atas nama agama. Islam dan Nasrani bertengkar dan saling bantai. Tapi itu dulu dan masa lalu. Mereka ingin meninggalkan semuanya. Tak ada gunanya. 


Saya heran saat bertemu Rafiq Syamsudin, nada ceritanya cukup cepat dan keras. “Di sini tak ada lagi konflik itu. Yang ada semua orang ingin hidup dan mencari nafkah sendiri,” katanya. 


Rafiq pada tahun 1998 adalah seorang koordinator perjuangan dari baris Islam. Mengomnadoi beberapa pasukan dan mahir merakit bom. Tapi sekarang dia sudah tak melakukannya, dia mengelola sebuah radio. “Bayangkan, semua orang berlomba-lomba buat proposal pemulihan atas nama konflik. Semua atas nama konflik. Saya khawatir isu teroris ini akan dijadikan lahan pencarian uang lagi,” lanjutnya. 


Poso menurutku adalah kota yang tenang. Pada malam hari saya berkunjung ke beberapa tempat, meski agak sunyi tapi saya merasakan seidkitpun ketegangan. Di pinggir pantai Poso saya dan beberapa teman duduk di salah satu kedai, menikmati angin malam, meneguk kopi, dan mendengarkan kawan yang lain bernyanyi. Kedai di sepanjang pesisir itu, sekaligus tempat karaoke yang murah meriah. 


Orang-orang bebas bercerita. Saya bertemu dengan seorang Nasrani. Dia datang dengan pacarnya yang muslim. Di kedai lain, saya juga melihat pembauran. “Bisa dilihat kan tak ada yang salah. Semua aman-aman saja. Hanya orang lain yang membuat persepsi tentang Poso dan buat semua orang ketakutan datang ke sini,” kata seorang kawan dari SCTV.


Saya tinggal di Poso selama empat hari. Saya bertemu beberapa karaktek dan memperhatikan suasana kota yang nyaman. Poso, memang selalu bergejolak tapi tak tahu siapa yang membuat. 


Saya meninggalkan Poso pada pagi hari bertolak ke kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan. Pagi-pagi bus besar yang membawa saya melintasi jalan yang kecil dan meliuk. Bila bertemu kendaraan dari depan maka salah satu kendaraan harus memperlambat kecepatannya. 


Selama perjalanan bus yang saya tumpangi dua kali beristirahat dan menyiram bannya. Saat air menyentuh ban kendaraan, asap yang keluar mengepul. Menurut kernetnya, itu karena panasnya putaran roda.   


Perjalanan menuju Masamba ditempuh sekitar 12 jam. Dari Poso sekitar pukul 08.00 dan tiba di Masamba sekitar pukul 20.00. Inilah waktu yang sangat melelahkan. Selama perjalanan saya tak mampu memejamkan mata. 


Saya tegang melihat jalan yang meliuk dan sangat kecil. Memperhatikan jurang di sisi kanan kendaraan seperti akan buat jantung berhenti berdegup. Sebelum melewati kawasan perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Selatan ada tanah yang longsor. Sisi jalan runtuh. Kendaraan yang melintas dijejer dan melaluinya dengan hati-hati. Satu-satu. Di tempat itu kendaraan tertahan cukup lama. 


OH YA, saya ingin bercerita tentang pikiran-pikiran saya di atas bus. Tentang lamunan dan ketegangan. Saya tak tahu bagaimana cara membunuh waktu di ruangan yang hanya bisa untuk duduk. Yang paling banter ada menaikkan kedua kaki ke kursi. Lalu berusaha memejamkan mata dan menegakkan kepala. Atau memiringkannya ke kiri atau ke kanan. 


Gaya lainnya, ya menempelkan kepala di belakang kursi bagian depan. Mau bediri tentu tak bisa, meluruskan kaki juga tak bisa. Saya iseng-iseng memerhatikan ruas jalan. Gunung-gunung dan lembah. Lalu memilih-lilih salah satu lokasi dan membangun rumah. 


Saya mulai melihat diri saya di lokasi itu. Tapi kemudian sirna begitu saja, karena kendaraan sudah melaju dan meninggalkan ruangan imajinasi saya. Lalu mulai lah bacaan satu persatu muncul di kepala. Ada cerita petualangan Karl May, ada cerita pembenuhan In Cold Blood yang ditulis Truman Capote atau bahkan cerita silat Ko Ping Ho. Beh, berkeliaran begitu saja. 


Saya membayangkan semua setting, alur, dan kejadian bacaan-bacaan itu. Memperhatikan rumah-rumah di sisi jalan dan membuatnya sendiri seakan nyata. Atau bahkan, mengandaikan diri seorang penembak jitu. 


Pada tahap menjadi penembak jitu itulah yang paling lama. Saya seakan memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Menembak dari balik kaca jendela mobil. Mengarahkan pada siapun yang lewat dan mebayangkan orang-orang itu menghempas. 


Lalu tiba-tiba saya kecapaian sendiri. Itu tulang ekor sudah mulai keram. Ruang imajinasi di kepala sirna saja, adanya bagaimana mempertahankan keram di pantat. Inilah hal yang paling sulit saat melakukan perjalanan, bukan dengan kendaraan pribadi. 


Dan mulailah nampak pohon-pohon sawit disepanjang jalan. Mangkutana, Kecamatan Luwu Timur sudah dijejak, artinya dua jam lagi tiba di Masamba. Menghibur diri dengan tenang dan memikirkan kasur empuk. 


Sekarang bandar udara Andi Djemma sudah di sisi kiri kendaraan. Saya berhenti tepat di ujung pagar bandara itu. Ada sebuah wisma. Mengambil kamar di lantai dua. Memperhatikan kamar mandi, handuk yang kusut dan bau. Tak ada sabun mandi dan pasta gigi. Kasur sudah di depan mata, empuk, tapi harus melupakan sejenak. Perut sudah keroncongan, tak ada makanan yang tersedia di wisma itu. “Makanan ada Pak tapi harus keluar, ada di dekat-dekat sini kalau mau beli makanan,” kata petugas reseptionis wisma seraya menunjuk. 


Ya sudah, kuputuskan untuk berjalan keluar. Sekitar 50 meter ada penjual makanan. Memesan ikan goreng, cukup sudah mengisi perut, lalu beli sabun mandi. Tak pikir lama, di wisma saya menghempaskan badan setelah membersihkan badan seperlunya. Mengangkat selimut dan pulas. Seminggu sudah perjalanan itu saya lalui bertemu orang dan melihat sekeliling. 


(Eko Rusdianto – ingin membaca liputan lengkap Poso, silahkan mengunjungi www.ekorusdianto.blogspot.com)

Berkomunitas, Berjualan, Berdewibulan

KOMUNITAS sering mendapat cap eksklusif lantaran orang-orang yang ada di dalamnya membatasi pergaulan.


Begitu kata seorang teman, Titin, dalam obrolan saya dalam gelar gerobak bioskop Dewi Bulan, pertengahan Juli lalu. Titin adalah seorang aktivis Linonipi. Hari itu, Linonipi yang berarti dunia mimpi dalam bahasa Bugis, mengambil bagian dalam Pasar Komunitas, rangkaian acara yang digelar sore sebelum pemutaran film pada malam harinya, yang diperuntukkan bagi beberapa komunitas yang datang menjajakan dagangan mereka, mulai cinderamata buatan sendiri, pakaian bekas, sampai buku diskon.


Linonipi dulunya bernama Idefix, berdiri pada 2009. Mereka menyewa rumah dengan cara tidak biasa untuk ukuran umum. Mereka mengundang partisipasi kawan-sahabat untuk mengambil peran dalam upaya menyewa rumah itu. Beberapa yang berperan itu adalah kalangan punk. Mereka menggelar konser tanpa panggung yang mau tampil dibayar-terserah berapa.


Beberapa kritik yang menerpa sebuah komunitas, menurut Titin, seperti anggapan adanya eksklusivitas sangat berkaitan dengan "Sesuatu tentang 'suka atau tidak suka, nyaman atau tidak nyaman'," ujar Titin.


Percakapan ini berlangsung pada saat tepat. Ini bisa menjadi semacam refleksi, terutama bagi para pengelola Dewi Bulan. Khusus Makassar, segala isu atau pembicaraan berkaitan dengan kota ini, selalu tidak memadu. Ini bukan soal keseragaman. Tapi sebagai upaya membangun komunikasi antarkomunitas agar kekuatan isu yang digulirkan bersama atau sendiri-sendiri lebih mendobrak.


Bukan rahasia lagi, tantangan terberat komunitas di Makassar, sejauh ini, dalam pandangan saya adalah jalinan komunitas antara sesama komunitas. Mereka belum menundukkan diri mereka sendiri. Masing-masing asyik masyuk pada kegemaran sendiri.


Pasar Komunitas sendiri tidak bertujuan mulia. Acara itu hanya memulai sebuah pertemuan antar simpul komunikasi, dan untuk tahu siapa yang sedang berkegiatan di mana. Sesimpel itu.


Sore itu, Linonipi membawa zine dan buku diskon mereka. Ada pula pakaian bekas dari beberapa anggota komunitas lain. Tak lupa Airin Handicrabby membawa kreasi kerajinan mereka, Abba Artstudio juga membawa beberapa lukisannya. Teman-teman dari Kiridepan datang membawa sebuah film dokumenter seorang munsyi bahasa Bugis. Beberapa teman wartawan juga ikut membantu dan mengotori tangan mereka menjelang sampai selesainya acara. Bau debu di musim kemarau, tersibak langkah-langkah tergesa karena mengangkat barang, tercium dengan lekas.  


PUKUL 19.00 Wita. Belokan jalan di depan Kantor Lurah Pandang, Kompleks BTN CV Dewi, Panakkukang tertutup. Sebuah layar pancar dan seperangkat perangkat suara menjadi ‘portal’, penahan laju kendaraan. Dua puluh kursi plastik milik Kantor Lurah dipakai penonton menyaksikan beberapa acara malam itu. Ada pula yang menonton santai dari atas kendaraan roda duanya.


Sebelum memutar film, para penonton yang sudah duduk manis di Bioskop Dewi Bulan edisi Juli 2011, menikmati penampilan dari Windah dan Japan Lover Community. Mereka bermusik akustik membawakan tiga lagu.


Menyenangkan melihat mereka berputar begitu. Apalagi sebelumnya, Pak Lurah memberi izin lisan untuk menggelar acara tersebut. Bahkan pihak kantor kelurahan yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Panakkukang itu juga meminjami dua puluh kursi plastik. 
Sebenarnya sejak lama pula, diam-diam, pengelola Gerobak Bioskop Dewi Bulan punya niat menutup jalan itu. Sebelum ada acara begini, jalan itu adalah jalan yang cukup berbahaya karena membengkok, membuat pengendara tidak pernah hati-hati. Anak-anak banyak bermain di situ. Kendaraan yang lalu lalang masuk dan keluar cukup ramai. Mungkin karena pemilik rumah di kawasan perumahan itu rerata memiliki kendaraan roda empat. Bahkan bila Sabtu malam tiba, pengendara roda dua tidak segan menggeber gas. Sayangnya, sekali sebulan saja Dewi Bulan datang menolong begitu.[]


[thejimpe]