Gerobak Bioskop Dewi Bulan


daripada melolong lebih baik menonton!

Dewi Bulan adalah program pemutaran film rutin yang digelar oleh Tanahindie bekerjasama dengan ruangrupa. Program ini adalah bagian dari program Gerobak Bioskop yang dilaksanakan oleh ruangrupa di 10 kota Indonesia (Makassar, Jatiwangi, Semarang, Surabaya, Padang, Aceh, Mataram, Bali, Dili, dan Jakarta).
Makassar mendapat kesempatan pertama dengan mengadakan peluncuran Gerobak Bioskop Dewi Bulan di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, dengan memutar beberapa karya film produksi artist dari ajang OK Video, karya-karya dalam komplikasi 10 Tahun Seni Video Indonesia 2000-2010 ruangrupa, dan film Nagabonar.
Program Gerobak Bioskop “Dewi Bulan” mengadopsi salah satu nama bioskop di Makassar bernama Bioskop Dewi (kini runtuh dan diganti bangunan ruko) yang pas dengan nama tenar kompleks di mana Tanahindie-Kampung Buku berada, yakni Kompleks BTN CV Dewi (nama resminya Kompleks Panakkukang Mas); dan menjadi pemutaran di pertengahan bulan, menunggu bulan purnama tiba!
Tanahindie adalah ruang mandiri yang didirikan sejak 1999 di Makassar, yang menggalakkan program berbasis seni dalam pengertian seluas-luasnya, dalam bentuk pameran, penulisan, penelitian, dan penerbitan.
ruangrupa merupakan artist’ inisiative yang didirikan 2000 oleh kelompok seniman di Jakarta. Organisasi nirlaba yang mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian dan penerbitan jurnal.

Jadwal tentatif tiga bulan pertama:
[1] Sabtu, 14 Mei 2011, pukul 19.30 Wita;
[2] Sabtu, 11 Juni 2011, pukul 19.30 Wita;
[3] Sabtu, 16 Juli 2011, pukul 19.30 Wita.
Bertempat di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E [samping Kantor Lurah Pandang CV Dewi.

Selain jadwal rutin di atas Dewi Bulan juga menerima uluran kerjasama dari lembaga yang memiliki ketertarikan dan tujuan yang sama dalam menggalakkan program berbasis seni. Gerobak Bioskop Dewi Bulan siap mengadakan pemutaran di tempat yang telah diatur bersama oleh pihak pengundang. Untuk mengundang kami dan keterangan lanjutan silahkan hubungi Manajer Program Dewi Bulan Sdr. Bondan (085341243206/0411433775)

atau datang langsung ke:

Kampung Buku
Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E
Panakkukang, Makassar 90234

Peluncuran Gerobak Bioskop Dewi Bulan

Dewi Bulan, Datanglah…

Tanggal 23 April 2011, Tanahindie-ruangrupa menggelar Peluncuran Program Gerobak Bioskop. Program ini dilaksanakan 10 kota (Makassar, Jatiwangi, Semarang, Surabaya, Padang, Aceh, Mataram, Bali, Dili, dan Jakarta). Makassar mendapat kesempatan pertama.
Bioskop Dewi Bulan dilaksanakan di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, setiap pertengahan bulan. Jadwal tentatif tiga bulan pertama: [1] Sabtu, 14 Mei 2011, pukul 19.30 Wita; [2] Sabtu, 11 Juni 2011, pukul 19.30 Wita; [3] Sabtu, 16 Juli 2011, pukul 19.30 Wita.
Program Bioskop “Dewi Bulan” mengadopsi salah satu nama bioskop di Makassar bernama Bioskop Dewi (kini runtuh dan diganti bangunan ruko) yang pas dengan nama tenar kompleks di mana Kampung Buku berada, yakni Kompleks BTN CV Dewi (nama resminya Kompleks Panakkukang Mas); dan menjadi pemutaran di pertengahan bulan, menunggu bulan purnama tiba!
Dalam acara peluncuran, Bioskop Dewi Bulan akan memutar film Nagabonar. Menurut project officer Bioskop Dewi Bulan, Bondan Nur Muhammad Ahmad, Nagabonar, film berdurasi 108 menit yang disutradarai Asrul Sani, merupakan salah satu dari sedikit film Indonesia yang melegenda. Menjadi pembicaraan hingga sekarang.
Selain film sejenis Nagabonar, film produksi artist dari ajang OK Video, karya-karya dalam komplikasi 10 Tahun Seni Video Indonesia 2000-2010.  
Tanahindie adalah ruang mandiri yang didirikan sejak 1999 di Makassar, yang menggalakkan program berbasis seni dalam pengertian seluas-luasnya, dalam bentuk pameran, penulisan, penelitian, dan penerbitan.
ruangrupa merupakan artist’ inisiative yang didirikan 2000 oleh kelompok seniman di Jakarta. Organisasi nirlaba yang mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian dan penerbitan jurnal.

Untuk keterangan lanjutan, hubungi:
Bondan (085341243206/0411433775)

atau datang langsung ke:

Kampung Buku
Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E
Panakkukang, Makassar 90234

Buzz, 100 Doa Pendek Ala Iwang


Sabtu malam di pertengahan Juni 2009, suara tawa renyah terdengar di Ruru Gallery. Tawa itu lepas dari lima remaja putri yang tengah asyik membaca kumpulan doa di salah satu sudut galeri yang terletak di kawasan Tebet Jakarta Selatan. Pemandangan itu tentu bukan hal yang lazim kita temui terjadi di sebuah galeri. Bagi sebagian besar masyarakat kita, galeri adalah tempat orang-orang dewasa menikmati karya seni dalam hening dengan dahi berkerut.

Kumpulan doa yang berisi 100 doa pendek yang dibaca lima remaja putri itu adalah salah satu bagian dari pameran bertajuk ‘Happiness’ karya Irwan Ahmett yang akrab dipanggil Iwang. Pameran “Happiness” ini adalah program pertama yang dilakukan oleh Ruru Gallery yang dikelola oleh Ruang Rupa sebuah initiative artist yang hadir sejak delapan tahun lalu.

Iwang membuka pamerannya dengan membuat sebuah presentasi kisah tentang makna kebahagiaan dari orang terdekatnya. Bagi ibunya, kebahagiaan adalah ketika ia bisa mencium tangan Abdullah Gymnastiar. “Tampak sepele bagi kita, tapi bagi ibu saya, mencium tangan Aa Gym membuat ia bahagia. Singkatnya, kebahagiaan itu sangat personal dan sebuah kekuatan besar di balik tindakan seseorang” tuturnya.


Berangkat dari hal yang sangat personal yaitu pertanyaan-pertanyaan seperti; “Kenapa saya dilahirkan?”, “Siapa orang yang paling saya sayangi” dan “Sudah bahagiakah saya” yang sangat mungkin juga dipertanyakan semua orang, kegelisahan akan pencarian makna kebahagiaan itu kemudian diolah dan diformulasikan dengan caranya sendiri.


Ia kemudian menghampiri publik dengan gagasan sederhana bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari dan dengan sendirinya dapat diraih oleh siapa saja tanpa terkecuali. Gagasan sederhana ini lalu diterjemahkan melalui medium-medium yang sangat intim dengan kesehariaan masyarakat urban. Buku, handphone, kaset, pakaian dalam, kumpulan doa dan berbagai medium yang berhasil membunuh jarak antara karya seni dengan penikmatnya dalam kemasan urban art.

Urban art hadir menggantikan fungsi seni yang tadinya agung, klasik, murni, tinggi serta tradisional. Nilai-nilai tersebut kemudian diruntuhkan dalam urban art dengan cara menghadirkan karya seni ke tengah publik melalui media-media yang lekat dengan keseharian masyarakat kota. Seni tak lagi hanya ditampilkan dalam galeri saja, tapi juga menjadi media ekspresi yang bertarung di fasilitas publik dengan media lain semacam iklan di TV, billboard iklan, poster promosi dan lain-lain yang mendominasi hampir setiap ruang publik.

Salah satu sarana ekspresi yang menarik dalam pameran ini adalah sebuah buku kumpulan doa dan ruang bagi orang untuk berdoa yang diletakkan menghadap ke kiblat di salah satu sudut galeri. Dalam buku kumpulan doa itu ia memodifikasi doa-doa umum yang biasanya panjang menjadi doa-doa pendek. Kumpulan seratus doa pendek dengan cerdas memotret sekaligus juga melakukan sindiran pada masyarakat urban yang kian hari semakin terjebak pada kehidupan instan. Segala hal dilakukan dalam ketergesaan, bahkan untuk berdoa!

Kumpulan doa ini menampilkan permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dan mendominasi masyarakat urban mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dibuka dengan doa “Kau tahu yang kumau”, sebuah plesetan dari tagline iklan sebuah produk fresh drink yang setiap hari menyapa melalui tv. Tentunya, juga tanggapan bagi iklan-iklan lain yang menyergap masyarakat melalui tv. Respons-respons terhadap iklan ini hadir dalam berbagai doa; “Hilangkan bau badanku” dan “Putihkan warna kulitku”.

Konsumerisme yang muncul seiring serbuan propaganda iklan yang gencar dilakukan oleh media massa, memaksa masyarakat urban kian konsumtif. Fenomena ini dihadirkannya dalam doa “Biarkan discount terjadi setiap hari” dan “Tuhan! Uang seribu sudah tak laku”. Dua lembar uang seribuan juga diletakkan begitu saja di lantai galleri untuk menunjukkan tak berartinya uang seribuan dalam budaya konsumerisme.

Iwang tak hanya memberi respons pada serbuan iklan, ia juga meledek masyarakat urban yang terjebak dalam budaya televisi. Simaklah doa “Semoga aku masuk tv”, dengan cerdas Iwang menangkap harapan akan surga yang kini beralih pada televisi yang menjanjikan beragam mimpi.

Permasalahan kemacetan yang menimpa masyarakat urban di tengah hidup yang menuntut segalanya serba cepat juga dapat kita temukan di dalam buku kumpulan doa ini. Baca doa-doa berikut; “Hijaukan semua lampu merah untukku”, “Jangan lagi aku dioper di metromini” atau “Perpendek jarak kantorku”.

Pada acara artist talk yang diadakan Ruangrupa, Iwang menuturkan ketergantungannya pada internet, “Sehari tanpa internet, serasa kiamat deh,” ungkapnya. Internet dan hape kini bukan lagi sesuatu yang mewah bagi masyarakat urban kita. Konter-konter penjual pulsa dan warung internet marak bermunculan di perkotaan. Fenomena ini memberi gambaran betapa konsumsi pulsa dan internet masyarakat urban mungkin sebanding dengan kebutuhan pokok lainnya.

Tak mengherankan bila permasalahan yang dihadapi dalam hal teknologi komunikasi dan informasi mendapat tempat yang luas dalam kumpulan doa ini. Terdapat sedikitnya 15 doa; “Awetkan pemakaian pulsaku”, “Cepatkan koneksi internetku” atau “Cepatkan jariku untuk ketik sms” serta beragam doa lainnya. Fasilitas tehnologi komunikasi yang menawarkan beragam kemudahan juga mengikut-sertakan dampak negatif. Ketersediaan phonebook dalam hape kemudian berperan dalam penurunkan kemampuan daya ingat seseorang. Doa “Kuatkan ingatanku untuk mengingat nomer telepon” dan “Jauhkan aku dari lupa”

Tekanan hidup dan beban pekerjaan yang menimpa masyarakat urban tak luput dari pengamatan Iwang yang dalam kesehariannya bekerja sebagai desainer grafis. Tak mengherankan bila ia menyodorkan doa semacam “Cepatkan datangnya week end” dan “Perbanyak tanggal merah tahun depan” bagi audiens-nya. Di antara himpitan waktu yang kian sempit tuk bisa sejenak lepas dari rutinitas, doa-doa ini bisa jadi memang hadir dalam keseharian masyarakat urban.

Tak hanya mendekatkan publik dengan karyanya Iwang juga melibatkan mereka dalam proses kreatifnya. Pelibatan publik, dalam hal ini orang-orang terdekatnya dan bukan dari kelas menengah ke atas, ke dalam proses kreatif juga menjawab mengapa Iwang bisa menghilangkan sekat dengan publik “Happiness”. Pemilihan foto-foto, salah satu medium yang dipakai Iwang, dilakukan oleh pembantu dan tukang kebunnya. Tak heran bila yang hadir adalah foto-foto yang begitu akrab dengan audiens. Tukang ojek, mahasiswa, ibu rumah tangga tentulah orang-orang yang tak asing lagi dengan kesehariaan kita.

Menggunakan medium foto Iwang melukiskan betapa kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat personal. Ada enam foto, ditampilkan melalui poster, yang menggambarkan sumber-sumber kebahagiaan yang berbeda bagi setiap orang. Bisa jadi sumber kebahagiaan itu sangat sederhana seperti es krim, sepatu atau seks yang menyenangkan.

Tak lupa, Iwang juga mengundang publik untuk menuangkan rumusan kebahagiaan ke dalam ruang berukuran sekitar 1 x 2 meter di atas tripleks. Kebahagiaan ternyata gampang-gampang susah semisal ‘Saya mau kawin lagi’ atau ‘Kebahagiaan itu adalah bila kita mampu melihat diri kita seutuhnya dan mensyukurinya”

Iwang juga sangat total meleburkan diri dalam proyek-proyeknya. Dalam project (proyek) sebelumnya yang bertajuk Change Your Self, Iwang bahkan sampai menambah kata Ahmett di belakang namanya sebagai bagian dari project itu. Dalam proyek di mana ia mengajak orang untuk melakukan perubahan dengan memberi nama baru di belakang nama masing-masing. Peleburan dirinya sampai batas sejauh-jauhnya hingga ia membuka diri seluas-luasnya dengan kesediaannya menerima email, sms dan telepon dari publik selama kurun waktu 2005 – 2007 ketika proyek itu berlangsung.

Bagi Iwang, sebuah karya dinilai bukan pada apa yang terlihat atau terasa tapi bagaimana karya itu bisa bekerja menyampaikan gagasan dan, kalau bisa, menawarkan solusi akan sebuah masalah. Ia meminjam pendapat Steve Job “Design is not just what it looks like and feels like. Design is how it works” yang juga dituliskannya pada dinding galeri sebagai bagian dari pameran.

Latar belakangnya sebagai pelaku desain komunikasi visual berperan penting dalam usahanya memahami konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik dan media untuk menyampaikan pesan dan gagasan. Melalui desain komunikasi visual ia mengembangkan bentuk bahasa komunikasi visual berupa pengolahan pesan pesan untuk tujuan sosial yang ditujukan kepada pemirsanya.

Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan untuk menyampaikan pola pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan, berupa bentuk visual yang komunikatif, efektif, efisien dan tepat. terpola dan terpadu serta estetis, melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. elemen desain komunikasi visual adalah gambar/foto, huruf, warna dan tata letak dalam berbagai media. baik media cetak, massa, elektronika maupun audio visual.
Tidak seperti seniman yang mementingkan ekspresi perasaan dalam dirinya, Iwang selaku seorang desainer komunikasi visual adalah penerjemah dalam komunikasi gagasan. Menurutnya, ekspresi itu harus dimengerti dan harus membuat sesuatu terjadi. Jadi sebuah karya seni bukan hanya asal coret kuas saja, tetapi harus ada yang bisa diberikan di baliknya. Ini kemudian ia wujudkan ketika menanggapi bencana Lumpur Lapindo yang terjadi di Porong, Sidoarjo. Iwang menawarkan pendekatan berbeda dan menarik melalui medium yang setiap hari kita lihat yaitu cetak urban berupa stiker dengan tulisan ukuran tinggi lumpur dan dipasang dengan ketinggian yang sama. Stiker tersebut ditempel di area-area publik untuk menyentil kesadaran masyarakat akan kondisi bencana lumpur Lapindo tersebut.

Bagi Anda yang melewatkan pameran ini, bisa melihat karya tersebut di situs pribadi Iwang, www.ahmettsalina.com. Di situs itu, ia juga mencantumkan jam yang menghitung mundur waktu ke banjir 5 tahunan Jakarta yang merupakan sebuah kritik agar kita bisa membenahi Jakarta agar tidak tenggelam lagi seperti awal tahun 2007 ini.

Seniman lain tentu memiliki kepedulian dan komitmen yang sama akan realitas sosial yang terjadi pada masyarakat sekitarnya tapi menggunakan pendekatan berbeda dan medium lain. Mungkin banyak lukisan yang tercipta karena bencana banjir tahunan Jakarta itu. Pertanyaannya adalah seberapa efektif lukisan itu bisa membangkitkan kesadaran masyarakat bila hanya segelintir orang bisa melihatnya di dalam galeri. Di celah inilah Iwang dan urban art hadir dengan gagasan dan medium yang begitu intim dengan masyarakat. (@nzhu)

Masa-masa yang ‘Memble tapi Kece’

SEORANG lelaki langsing berwajah pucat lari terbirit, Selasa siang itu. Sepertinya ada yang mengejarnya. Bajunya basah oleh peluh. Ia meloncat; menghindari barang-barang yang menghalangi jalannya. Sesekali berhenti mendadak, mengelakkan benturan dengan orang ramai. Tubuhnya lincah menyusup di sela rapatnya kerumunan pengunjung Pasar Sentral Rappang. 


Lubis, nama lelaki itu, tiba di kolong rumah saya. Mendekat ke kumpulan pemuda yang sejak tadi duduk di ladda-ladda (balai bambu). Para lelaki yang dihampiri itu berdiri serentak. “Magako?” Ayyong bertanya, kenapa sampai ia berlari. 
Nalellungnga’ ana’ rijang pasa!” kata Lubis. Rupanya ia dikejar oleh geng yang biasa berkumpul di bagian utara pasar. 


Seperti diberi aba-aba, Ayyong dan Lubis berlari masuk pasar, diikuti kalangannya. Mendengar kegemparan di bawah kolong, ibu saya segera berteriak, “Ancu! Jangan ikut-ikut!” Ibu meneriaki kakak lelaki saya yang tertua. Tapi tak lama Lubis dkk pulang. Orang yang dicari tak ditemukan. 


Lubis menyebut bahwa ia tak mengenal orang-orang yang memburunya. Namun pengejaran ke utara itu dilakukan atas dugaan: selama ini, hanya anak Matador yang berani mengejar anggota Anpasta, nama geng pemuda yang ada di sekitar rumah saya. 


SEPULANG dari pengejaran, Lubis menanggal dan menjemur baju putih cap Swan tipisnya yang basah karena keringat. Di lehernya menggantung kalung salib perak. Ia Bugis Muslim tulen. Mungkin ia mengenakannya lantaran hanya terpengaruh tren yang diusung Madonna dalam poster-posternya yang mengenakan aksesoris lambang suci umat Nasrani tersebut. Memang di masa itu, Madonna menjadi fenomena di dunia musik. Ia mengundang kecaman berbagai kalangan ketika muncul memakai tanda palang itu dalam video klipnya, Like a Virgin, yang dirilis tahun 1984 dan menduduki tangga lagu Amerika selama enam pekan. 


Untuk ukuran setempat, Lubis memang pemuda yang menarik perhatian. Penampilannya tak pernah jauh dari tren di masa itu. Selain aksesoris salib, ia juga kerap mengenakan jaket kulit sebagai luaran dan oblong tipis bermerek Swan yang dijadikan dalaman. Gaya rambutnya serupa rambut Lupus — kadang pula mengenakan bandana. Tapi style itu dikenal di kalangan pemuda setempat dengan nama model durandurang —sebutan yang merujuk gaya rambut kelompok musik Inggris, Duran-Duran. Sematan itu diperkuat dengan bentuk wajah tirusnya, yang mengingatkan orang pada vokalis band tersebut, Simon Le Bon. 


Lubis bukanlah anak setempat. Lelaki kemayu jago breakdance itu adalah pemuda dari Maroanging, Kabupaten Enrekang, sepuluhan kilometer utara Rappang. Tapi si mata sayu ini merupakan salah seorang anggota Anpasta Maroanging. Anpasta adalah kependekan dari Anak Pasar tapi Awas, yang dibentuk di awal 1980-an. Belakangan Anpasta meluaskan pergaulan mereka ke daerah sekitar, termasuk Maroanging. Anpasta membuka ‘cabangnya’ di sana. Karenanya pula, Lubis leluasa bergaul di kawasan barat pasar dan berhak mendapat perlindungan sebagai salah seorang anggota geng. Apalagi ia memang punya tante, Mama Ombing, yang tinggal di sekitaran tempat mangkalnya itu. 


Begitu hari pasar sepi, sekitar pukul 13.00, para pengangguran penunggu kolong rumah pun bubar. Ada yang pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang. Beberapa lainnya yang sudah makan, biasanya makan bakso atau soto ‘jatah preman’ di kedai sekitar pasar, berangkat ke ‘kampus’. 


Sebutan ‘kampus’ di sini tidak merujuk kompleks bangunan untuk kuliah. Entah dari mana mula istilah ini. Namun sebutan tersebut dipakai untuk menyebut bagian bangunan rumah panggung yang ada di kolong. Kampus menjadi semacam kamar terpisah. Luas dan bentuk ‘kampus’ ditata layaknya sebuah kamar, meski biasanya berbohlam redup. 


Dinding papan atau kajang (anyaman bambu) sisi dalamnya bahkan ditutup kertas semen, yang direkat pakai kanji. Di dindingnya kemudian dipenuhi poster-poster idola semacam Madonna, Duran-Duran, sampai The Scorpions. Maka tak heran siang, sore, sampai malam “Still Loving You” atau “The Smoke is Going Down”biasa terdengar. 


FENOMENA yang terjadi pada dekade 1980-an di Rappang, rasa-rasanya, hanya soal kemunculan klub geng remaja di kota ini. “Kalau mau tahu berapa banyak klub remaja di Rappang, hitung berapa banyak dekker yang Anda temui selama di sana,” begitu kata sebuah anekdot. Dekker adalah sisi penahan jembatan kecil gorong-gorong atau tempat duduk semen berhadapan di depan pintu gerbang sebuah rumah. Dudukan ini akan ramai terutama di sore hari, begitu penghuni rumah selesai mandi. 


Entah yang mana datang duluan dan siapa belakangan. Namun fenomena ini sendiri, kurang lebih, tumbuh diiringi lagu tenarnya Obbie Messakh yang berjudul Istilah Cinta. Syairnya begini: 
Romantika Bercinta/ Sungguh aneh ada-ada saja/ Remaja-remaja kini pun pandai beraksi//... Di dalam kamus bercinta/ Selalu saja memakai istilah/ Yang bukan didapat dari guru bahasamu/ /Benci = benar-benar cinta/ Sebel = senang betul/ Gemes = genit-genit mesra/ Suzuki = sungguh-sungguh laki-laki/ Marah = mau-mau tapi ogah/ Malvinas = malu-malu tapi ganas/ Bisnis = bisikan pada si manis/ Kismi = satu kali minta lagi // ... 


Di masa itu pula, bahasa gaul “memble tapi kece” kerap terdengar dari bibir para kawula muda. Mulai dari tangki motor, kaca mobil, sampai buku teka-teki silang pun tiga kata, yang konon ditenarkan oleh Jaja Miharja itu, ada. Tapi dasar bahasa Jakarta, ada saja yang tidak paham. Entah benar atau tidak, ada pula anekdot tentang ini. Ceritanya, seorang pemuda yang berteriak mengejek pemuda lain yang melintas, “Uuuh, memble!” Si pemuda yang diejek tak mau kalah, balas berteriak, “Daripada kau ... kece!” 


Tapi tidak berarti anak muda setempat tidak memproduksi bahasa. Dari mereka lahir istilah ‘Todet’ yang merupakan pembalikan kata ‘Detto’ (tidak), yang biasa dipakai untuk menegaskan keengganan terhadap sesuatu. Belakangan kemudian muncul istilah ‘Subuh pi!” yang peruntukkannya nyaris serupa. 


ENTAH apa yang memicu pertumbuhan perkumpulan remaja di kota ini. Yang pasti, di kitaran pasar, tidak kurang ada enam klub remaja. Di sebelah utara berkibar bendera grup Matador. Pertama kali terdengar di telinga saya terdengar begitu keren. Bahasa apa ya, begitu pikir saya. Tapi sebenarnya kepanjangan nama itu, berdasarkan tuturan anak Anpasta, adalah Manusia Tanpa Dorongan Orang Tua. 


Di bagian timur ada Gios. Saya tidak tahu persis apa kepanjangan empat huruf itu. Tapi ada yang memplesetkannya menjadi Gabungan dan Ikatan Olahraga Sepeda. Saya ragu kepanjangan ini. Pengeliruan ini muncul sebab anggota klub ini adalah anak muda yang terdepan dan terampil di soal atraksi sepeda. Mulai dari jumping(lompat — sampai-sampai ada kata kerja Bugis ‘mappajamping’ yang beredar di warga Rappang sejak itu) sampai angkat ban depan mereka bisa. Kepiawaian angkat ban depan selalu diukur dengan menghitung ‘berapa tiang listrik’ yang mampu dilewatinya. Jarak tiang listrik ke tiang lainnya berkisar 50 meter. Atraksi itu tentu amat butuh stamina, kekuatan, dan keseimbangan yang bagus. Kehebatan seorang pengendara kereta angin pun diukur dengan kepiawaian ‘angkat ban’ itu. 


Di sebelah selatan ada Cobra. Sepertinya klub ini muncul ketika film Cobra yang dibintangi Sylvester Stallone sedang tenar-tenarnya, di paruh terakhir 1980-an. Bahkan tempat mangkal mereka digambari lukisan ular cobra hijau dan tokoh Leiteunant Marion ‘Cobra’ Cobretti yang berkacamata gelap, kaos ketat yang mengentarakan otot, dan mengusung bren (senapan mesin) di tangan kanannya. 


Adapun grup di sebelah barat yang berpangkalan di sekitar rumah saya adalah Anpasta. Mereka inilah yang menguasai pasar. Grup ini didirikan tak lama setelah Pasar Rappang diresmikan Bupati Sidrap Opu Sidik di awal 1980-an. Belakangan nama Anpasta berubah menjadi Anvasta (Anak Veteran Selatan — sesuai nama jalan tempat mereka kongkow-kongkow). Nama ini berubah menjelang dekade 90-an, tepatnya beberapa waktu mendekati acara musik akhir tahun yang digelar di lapangan depan rumah saya. Saya menduga, perubahan itu sebagai siasat mereka untuk ‘berbaik-baik’ ke tetangga karena hendak minta sumbangan, terutama untuk dana konsumsi dan mendatangkan kelompok penghibur. Nama itu seperti diniatkan untuk ‘merunduk’ di depan aparat biar mau memberi restu, izin, juga ‘pembinaan’. 


Di masa itu, hanya pesta perkawinan orang kayalah yang mampu mendatangkan kelompok musik. Di luar dari itu, paling banter even sebesar balapan motor cross nasional. 


Di belakang wilayah Anpasta ada Radur (Rombongan Anak Durhaka). Keduanya sangat dekat. Bisa diandaikan sebagai adik-kakak. Anak Anpasta rerata 18 tahun ke atas. Lepas SMA, banyak anggotanya tak lanjut lagi sekolah ke Makassar. Anggota Radur umumnya masih duduk di bangku SMP-SMA. 
Sebenarnya, Radur adalah nama yang cukup janggal untuk sekelompok pemuda tanggung, yang sebagian besarnya justru aktif sebagai remaja masjid Muhammadiyah Taqwa Rappang. Sehingga tak mengherankan kalau tempat mangkalnya tak jauh-jauh dari masjid tersebut. 


Di antara wilayah Anpasta dan Matador, berdiri Orrel yang punya kepanjanganOrganisasi Remaja Ekonomi Lemah. Karena posisinya di wilayah perbatasan, tak heran kalau anggotanya memilih netral. Meski mereka lebih akrab dengan anak Anpasta. Banyak di antara generasi pertama Orrel dan generasi kedua Anpasta akrab karena teman sepengajian di masa kecil, main sepakbola, bahkan teman satu sekolah dari SD sampai SMA. 


Dominasi Anpasta kemudian diimbangi oleh Matador, Gios, dan Cobra. Ketiganya membuat aliansi untuk mengimbangi Anpasta. Beberapa anggota dari tiga grup itu berteman dan saling menjaga wilayah. Dalam perkelahian massal yang pernah terjadi di lapangan depan rumah itu, anak-anak Anpasta terpaksa mundur karena kalah jumlah. 


DARI sekian klub remaja yang ada, Anpasta dan Matador-lah yang paling sering berkelahi. Cara tawuran mereka layaknya timpuk-timpukan ala mahasiswa Makassar yang selama ini disaksikan lewat televisi. Tampaknya, masalah itu dipicu oleh perebutan lahan. Seorang anggota Anpasta dipukul pentolan Matador karena berani ‘mengambil jatah’ di pedagang yang ada di wilayah kelompok yang kemudian jadi lawan. 


Kurang lebih setahun lalu, kawasan timur Pasar Sentral Rappang itu mendapat pengawalan ketat dari kepolisian. Berdasarkan liputan sebuah stasiun televisi, terjadi tawuran antar kelompok yang menewaskan seorang warga dan empat lainnya luka parah. Tawuran bermula ketika seorang anggota kelompok Matador memalak penjual buah-buahan di depan Pasar Rappang. Ketika dicegah warga, seorang anggota kelompok tersebut memanggil temannya dan melakukan penyerangan. 


Pasar sentral tersebut menjadi jantung kehidupan Rappang. Kota ini memang dikenal sebagai kota pedagang dan sentra perekonomian Sidrap. Hasil pertanian dari Toraja dan Enrekang, yang berada di utara Rappang, terkumpul dan dipasarkan di wilayah ini. Sebagian besar pedagang yang tinggal di pasar berasal dari Enrekang. Mereka menjual bawang merah, kol, salak, gula merah dan lainnya. Petani, nelayan dan petambak dari Pinrang membawa barang mereka ke kota itu karena berjarak hanya 20 kilometer timur Pinrang. Sementara dari Sidrap sendiri, komoditas semacam beras, sayur, ayam, telur, dan barang lainnya juga mengalir masuk ke pasar itu. 


Pasar Sentral terbagi empat kawasan. Ini ditandai dengan trotoar selebar 5 meteran yang terentang di tengahnya, membagi kawasan pasar menjadi empat bagian yang sama luas. Bila perkelahian terjadi, trotoar tersebut menjadi marka yang memberi peringatan agar setiap orang memasang segala indera. Saya sendiri beberapa kali ikut dalam kejar-kejaran atau tawuran. Pemimpin rombongan memperingatkan untuk waspada bila melewati trotoar. Soalnya, los-los yang berjejer rapi itu jadi tempat persembunyian lawan. Wilayah pasar adalah kawasan pertahanan pertama bagi masing-masing kelompok. Bila sudah tidak memungkinkan bertahan, mereka berpencar ke sekitar rumah masing-masing. 


Selain nama-nama yang saya sebut tadi, belakangan kemudian saya tahu juga, di beberapa tempat selain pasar, ada banyak nama perkumpulan. Perkenalan itu melalui beberapa teman, juga tulisan-tulisan yang ditera di tembok, terutama di masa-masa saya duduk di bangku SMA. 


Betapa banyak nama klub dan perkumpulan ditera menggunakan kapur, spidol hingga tip-ex. Coretan itu mudah didapati di pagar sekolah, tembok kelas, bangku, kursi, dekker, sampai coretan di dinding, kayu kusen, jendela, pintu belakang kelas, juga dinding-dinding tersembunyi seperti WC. Nama-nama kelompok itu antara lain: Ladosa (lahir dari orang-orang berdosa), Ladoraca (lahir dari orang-orang kalah), Anpisa (anak pinggir sawah), Mandolay, Chlomank, Bento (Benreng Toko – Samping Toko), sampai Gantz (Gabungan Anak Tansor). Semua grup itu berada di Rappang dan sekitarnya. 


Nama yang belakangan saya sebut agak lucu. Sepanjang ingatan saya, tak ada daerah atau kampung di Rappang bernama Tansor. Belakangan saya tahu kalau Tansor itu kependekan dari ‘Tanah Longsor’. Kok tanah longsor? Lagi-lagi ini ‘Tanah Longsor’ rupanya mengindonesiakan Tanah Maruttungnge; sebuah daerah di bagian barat Rappang yang berada di bahu sungai. Sehabis hujan lebat, air sungai akan meluap dan menghantam jurang kecil di kawasan tersebut yang menyebabkan runtuhnya tanah di Tanah Maruttungnge. 


TAWURAN bukan hanya berskala sesama anak muda Rappang. Perkelahian pun pernah terjadi antara antarkota, Rappang melawan Pangkajene, ibukota Sidrap. Entah apa penyebabnya. Seorang penyiar radio di Makassar, yang besar dan lahir di Pangkajene, pernah mengatakan kalau itu disebabkan ‘rebutan pacar’. Tapi ada anekdot tentang seteru ini. Kabarnya, hal besar itu dipantik oleh masalah hal sepele, yakni batu kilometer! 


Konon anak-anak Pangkajene marah karena batu kilometer yang ada di Sidrap hanya menera ‘RPG’ (Rappang). Padahal ibukota kabupaten penghasil beras ini Pangkajene adanya. Terteranya inisial RPG itu lantaran batu-batu kilometer itu dibuat di masa Rappang masih menjadi ibukota kabupaten. 


Tawuran tak kenal musim itu bukan hanya berlangsung sesama kelompok pemuda. Pemuda dan pihak kepolisian pun pernah terjadi. Bahkan, sepertinya, seluruh kelompok anak muda di Rappang dan daerah sekitarnya seperti Maroanging dan Baranti bersatu berperang batu dengan polisi. 


Ini terjadi di malam Idul Adha pertengahan tahun awal 1990-an silam. Setiap menjelang lebaran, entah Idul Fitri atau Idul Adha, kepolisian akan melakukan penjagaan ketat di beberapa titik penting sepanjang jalan utama di kota kecil ini. Selain berjaga mencegah tawuran sesama kelompok, mereka pun bergadang lantaran balapan liar dan urakan pemuda setempat. Balapan liar sih biasa. Paling-paling cuma balapan itu ujungnya taruhan. Tapi setelah itu, show yang ditunggu-tunggu adalah balapan telanjang. Telanjang bulat? Iya! 


Balapan seperti ini biasa digelar tak lama setelah pawai takbiran dan menjelang tengah malam. Namun biasanya ada saja kericuhan. Karena saling senggol antara kelompok atau dendam. Polisi mencoba menyetop aksi ugal-ugalan mereka. Pencegatan dilakukan. Pemuda tidak terima. Polisi berkeras. Kedua pihak akhirnya bentrok. 


Tembakan peringatan dibalas timpukan batu. Gesitnya serbuan polisi ditanggapi lari mundur yang tak kalah cepat. Kekuatan aparat tertahan oleh kelompok anak muda yang menyatu. Pengejaran polisi pun berbuah. Beberapa pemuda tanggung tertangkap. Mereka diboyong ke kantor polisi. 


Tapi anak muda tidak terima. Mereka murka. Sampai nekat membakar. Salah satu drum deretan toko di jalan poros Makassar-Toraja itu sempat ditumpah isinya. Untungnya, ketika seorang pemuda mencoba menyulutnya, genangan itu tidak berkobar. Isi drum yang menggenang di jalan rupanya minyak pelumas. 


Tak sampai di situ. Mereka malah mendekat dan mengepung kantor polisi, lalu menghujaninya dengan batu. Kaca pun berantakan. Gemuruh batu tumpah ke atap markas polisi. Tak berapa lama, beberapa pemuda tanggung yang tertangkap dilepas. Bukan karena polisi menyerah ditimpuk. Rupanya dalam pengejaran, seorang polisi sempat pula disandera oleh pemuda. Dua pihak kemudian bertukar tahanan. Keesokan harinya, Rappang dipenuhi sampah berupa kertas, puntung dan bungkus rokok, batu kali, batu gunung, dan batang pohon pepaya dan pisang yang dionggok begitu saja di jalan. 


Maklumlah, sidang pembaca budiman, namanya juga masa-masa yang ‘memble’ tapi tak ‘kece’.[]


(Anwar Jimpe Rachman)
Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasi di www.panyingkul.com edisi 06 Februari 2008.


Ini adalah Kehormatan

Puang Saidi yakin saat itu akan tiba. Pada sebuah siang, Senin 5 September 2001 di kampung kecil Kelurahan Bonto Te’ne, Kecamatan Sigeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan, dia menjadi perhatian banyak orang. Prosesi penobatan segera dilakukan, menjadi seorang guru, sanro, pemimpin, Puang Towa atau Ammatoa. Puang Saidi resmi mengepalai semua bissu dan disaksikan: dewan adat, pejabat pemerintahan hingga masyarakat biasa.
Ketika itu, pakaian kebesaran warna kuning, sarung, dan pentup kepala sudah lengkap. Dia begitu gagah dan tampan. Saidi mengenang semuanya dengan cermat. “Ramai sekali Nak, ramai sekali,” katanya. Di teras rumah Arajange tempat benda pusaka kerajaan tersimpan rapi. Dia duduk di kursi kayu yang kaku. Mengingat semuanya dengan takzim. Segelas kopi dengan gelas bergagang tinggi diseruput, di bagian lain tersaji penganan kue dari bahan gula merah.
Saidi membuka tiga album foto berukuran besar, diletakkan di lantai dipan yang hangat. Tak ada kenangan gambar yang menghubungkannya dengan upacara pelantikan itu. Semua hanya ada dalam hatinya. Dia lalu menuju ke sudut lain di teras itu, menunjuk sebuah foto berbingkai sederhana yang tergantung. Itu gambar neneknya, Sanro (dukun) Saeke, pemimpin bissu sebelum dia. “Seperti ini pakaiannya,” katanya.
Saidi lahir pada 1950-an. Tak tahu waktu tepatnya, tanggal dan bulan, apalagi harinya. Cara Saidi memulai pembicaraan begitu hati-hati, Bahasa Indonesianya tidak terlalu baik. Terkadang dalam sebuah pembicaraan dia akan memiringkan kepalanya dan mengernyitkan dahi bila sesuatu mulai begitu ribet dicernanya. Dan bahasa Bugis akan meluncur dengan cepat.
Dia seorang yang ramping dan memiliki beberapa helai bulu yang tumbuh di dagunya dengan panjang. Rambutnya juga panjang mengkilap tapi selalu digulung ke atas hingga menyelinap masuk ke kopiah. Dia lahir di Pangkajene Kepulauan, tapi berdarah Bone (Kabupaten Bone). Dia adalah pelayan raja, penasihat sekaligus guru spiritual kerajaan. Posisi bissu pada masa lalu adalah kedudukan terhormat. Bissu dipercaya dapat melakukan dialog dengan dewa yang berada di langit, karena menggunakan bahasa To Rilangi atau orang langit. Bahasa ini dipercaya juga digunakan oleh para dewa dan hanya diketahui oleh para bissu yang diberkati. Tak hanya itu jenis kelamin bissu pun berada di antara laki-laki dan perempuan, tapi bukan waria. Dan menurut keyakinan itu, tuhan pun bukan laki-laki dan perempuan. “Bissu mi itu nak (seperti itulah bissu),” katanya.
Masyarkat Bugis dan Makassar mengenal lima jenis gender dalam kehidupan mereka. Pertama adalah urane (laki-laki), kemudian calabai (laki-laki yang keperempuanan), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang kelaki-lakian), dan terakhir bissu. Pada filosofinya laki-laki ditunjukan pada jempol, calabai untuk telunjuk, perempuan untuk kelingking, calalai untuk jari manis dan bissu untuk jari tengah. Jadi bissu merupakan derajat yang paling tinggi dan berhak menjadi pemegang atau penghubung komunikasi dengan tuhannya.
Selama jadi Bissu tutur kata dan laku kehidupan harus benar-benar tertata. Saidi menggunakan sarung, baju berkancing yang berkerah ketika duduk mengurai ingatannya di teras rumah itu. Dahulu rumah itu adalah kantor sebuah lembaga kesehatan, dengan sebuah tangga yang lurus menghadap badan jalan. Atapnya cukup sederhana, biasanya untuk rumah kerajaan atau rumah para bangsawan Bugis dan Makassar selalu menggunakan tiga susun atap bagian depan. Tapi itu harus dilakukan, tak ada pilihan, tak ada jalan lain, sudah tak ada lagi Arajang’e, tak ada kerajaan, apalagi rajanya. Dan budaya tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja, begitu pikir Saidi.
Tiang salah satu rumah itu dihiasai tanduk binatang, ada ikatan padi, dan beberapa daun sirih. Diikat dengan tidak beraturan. Kini keberadaan Bissu sebagai penasihat tanpa raja mulai dilupakan masyarakat, hanya segelintir saja yang menggunakan jasa Bissu saat keperluan tertentu. “Kemarin, saya baru dari Surabaya. Ada orang Bugis-Makassar yang mau menikah dan akan pakai adat kita itu. Bukan bangsawan tapi punya uang dan ingin melakukannya,” kata Saidi. “Jadi saya bikin semua keperluannya nak. Di sini nanti kujahitkan. Nanti saya akan ke sana lagi dan mengatur semuanya,” lanjutnya.
Tak sampai di hal sekecil itu, beberapa ritual sakral pun dapat dilakukan tanpa harus menunggu kesempatan dan waktu yang telah ditentukan atau sesuai petunjuk tuhan. Para bissu bisa saja mengkomersialisasikannya dengan sebuah kesepakatan. Misalnya, media akan meliput sesuatu upacara, maka itu bisa diadakan meskipun hanya untuk kebutuhan gambar. “Kalau mau dilakukan maka bisa saja tapi harus membiayai kegiatan ritual itu,” kata Saidi seraya menyebut beberapa media yang telah melakukan itu, baik nasional maupun internasional.

TAHUN 1950-an di Indonesia terjadi pergolakan besar. Saidi sudah mengingat semuanya. Dia adalah generasi kelima dari Puang Towa dan memiliki garis turunan yang sama dari buyutnya hingga neneknya sendiri.
Di Sulawesi Selatan pergolakan itu pun terjadi dan merupakan pergolakan terpanjang dalam sejarah. Adalah Kahar Muzakkar yang tergabung dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk membentuk dan mencita-citakan Negara Islam Indonesia (NII) melakukan perlawanan selama 15 tahun.
Bissu dianggap sebuah penyelewengan dan pembangkangan dalam ajaran Islam lalu dianggap murtad karena dinilai menyembah berhala dan menyekutukan Tuhan. Laskar yang menamakan kelompoknya Pemuda Ansor memulai pengejaran dan membunuh beberapa Bissu. “Dibunuhki nak. Digerek (dipotong) orang,” kata Saidi.
Setelah masa pergolakan DI/TII berakhir dan pemerintahan berganti dari Orde Lama ke Orde Baru para bissu kembali tak tenang. Saat itu pergerakan kembali digerakkan guna membumihanguskan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bissu yang dianggap meyakini ajaran dewa dan animisme pun dianggap tak bertuhan seperti komunis. Namanya Operasi Toba (tobat) untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam. Para bissu yang kedapatan akan diminta untuk bertobat dan kembali menjadi lak-laki dan harus mengenakan pakaian laki-laki dalam pergaulan sehari-hari.
Dan saat itu ritual atau kegiatan bissu didiamkan. Tak ada aktivitas sama sekali. Rembesan masalah komunis itu bertahan hingga tahun 1990-an. Bissu masih dianggap sesat dan harus ditiadakan dan pengikutnya terus merosot hingga tak mencapai puluhan orang. Padahal dalam kepercayaan Bissu, untuk melaksanakan ritual harus lengkap 40 orang.
Dari 40 bissu itu pulalah terdapat seorang bissu perempuan. Bissu perempuan yang paling tinggi derajatnya karena merupakan turunan orang berdarah bangasawan atau Bissu Pa’tudang. Di masa lalu, dalam epik I Lagaligo, We Tenriabeng saudara Sawerigading adalah seorang bissu perempuan yang langsung diturunkan dari langit.
Menjelang reformasi tahun 1997, sebuah lembaga masyarakat Latar Nusa melihat keterdesakan komunitas Bissu yang terus merosot. Gelombang reformasi membawa angin segar, semua masyarakat dan warga dibebaskan untuk berserikat. “Dulu saya jalan saja, orang-orang teriak dan mengejek-ejek. Tapi saya diam saja,” kata Saidi. “Orang-orang bilang kalau ketemu bissu sial 40 hari.”
Di masa kelam itu para bissu bertahan hidup dengan keterampilan seadanya. Misalnya membuka warung makan dan yang paling banyak menjadi penata rias pengantin. Pekerjaan melayani raja sudah tak ada lagi, penghasilan pun hilang.
Sebelumnya, kata Saidi, Puang Towa diberikan hak atas 1,5 ha lahan sawah (galung arajang) sebagai hadiah atau mata pencarian untuk kelangsungan hidup dari kerajaan. Tapi sekarang semua tak ada lagi. Jadi tugas utama Bissu sekarang hanya merawat benda pusaka kerajaan yang ada di rumah Arajang. Sebuah bajak sawah dari kayu yang dipercaya turun dari langit. Bajak itu diperlakukan sangat istimewa, dikelambui dengan kain merah dan dibungkus rapat dengan kain merah pula, dengan pengikat rotan.
Ketika seseorang akan melihatnya maka akan dilakukan doa singkat dari sang Bissu lalu membakar lilin. Tempat bajak itu berada tepat di samping kamar istirahat Saidi.
Antropolog Universitas Negeri Makassar Halilintar Lathief, mengatakan keberadaan bissu sekarang seperti sebuah oase yang kering. Ada tapi beberapa sudah keluar dari pakem. Menurutnya, lemahnya posisi bissu ini dipengaruhi oleh sikap pemerintah setempat yang memasukkannya dalam program pariwisata dengan konotasi uang.
Menurut Halilintar, pada sebuah acara penjemputan tamu negara atau hanya kunjungan pejabat baik hanya sekedar jalan-jalan maka dengan mudah dilaksanakan ritual yang dilakukan bissu. Padahal, kata Halilintar, bissu adalah laku kehidupan bukan sekedar tontonan. “Saya harap bukan budaya yang mengikuti keinginan pariwisata, tapi pariwisata yang seharusnya mengikuti kegiatan kebudayaan itu,” katanya.


SAIDI tahu keadaan dirinya yang berbeda dengan teman laki-lakinya. Dia tak nyaman bermain dengan mereka dan selalu ingin bertengkar. Dimasa permainan kecil berlangsung Saidi selalu menjadi penata rias untuk teman-temannya yang akan melakukan permainan keluarga, ada ayah, ibu dan ada yang berperan sebagai anak.
Keluarga Saidi begitu keras mendidiknya. Belajar mengaji dan bekerja layaknya laki-laki. Dia memiliki seorang adik kandung dan tujuh saudara tiri dan hanya Saidi yang waria. Dalam keluarga itu sikap dan sifat semacam Saidi bukanlah hal baru. Adalah neneknya yang menjadi bissu. ”Saya anggap neneku lah yang bisa mengerti saya,” katanya.
Menginjak usia kira-kira 9 tahun, Saidi mulai mengikuti beberapa kegiatan bissu apalagi jika neneknya telibat. “Saya sering dimarahi tapi selalu ikut. Selalu saya dipukul tapi saya tidak menyerah,” ujarnya. “Jadi saya sudah mengerti bissu dan menjadi bissu sejak kecil.”
“Sekarang banyak itu waria yang ingin sekali jadi bissu karena hanya ingin dapat uang. Itu banyak sekali, bahkan ada yang melantik dirinya sendiri. Mabusungi (durhaka mereka),” lanjutnya.
Saat ini jumlah bissu menurut klaim Saidi sudah mencapai 40 orang dan tersebar di beberapa wilayah. Tapi hanya ada satu Puang Towa yang masih hidup, yakni dirinya dari Sigeri. Untuk Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone sudah meninggal. Sementara untuk melakukan pelantikan baru dibutuhkan waktu dan kelengkapan bissu lainnya, dan semuanya tak ada lagi. Raja sudah tak ada juga.
Bila waria biasa suatu ketika bisa menikah, maka berbeda dengan bissu tak ada kata menikah. Tak boleh ada unsur duniawi yang ada dalam dirinya lagi ketika sudah dilantik menjadi bissu. Tapi, dalam buku Empat Menguak Tradisi, Puang Saidi diceritakan menjalin hubungan dengan beberapa pasangan (toboto). Bahkan dijelaskan sudah ada lima pasangan Saidi yang ada. Tiga di antaranya sudah dinikahkan. Syarat kehidupan dengan pasangan laki-laki itu tak boleh lebih dari tiga tahun. “Tidak boleh hidup bersama dengan seorang lelaki berlama-lama, sebab dia kan punya hak untuk berketurunan. Jika dia tidak dikawinkan setelah tiga tahun hidup bersama seorang bissu, berdosalah bissu itu,” kata Saidi dalam buku itu.
Tapi Saidi yakin, bissu tak akan hilang di bumi ini. Dari awalnya 40 bissu yang ada maka itu akan kembali lagi seperti semula. Dan semua kerajaan akan kembali terisi. “Kalau kampung itu ada lima calabai maka satu diantaranya pasti adalah bissu,” katanya.
Dan Saidi bangga menjadi seorang bissu. Menurutnya hal itu adalah takdir dan kehendak dari tuhan. Dan menjadi sebuah kehormatan.
Sementara Halilintar melihat keberadaan bissu mulai tergerus oleh zamannya sendiri. Kebanyakan, kata dia, belum memahami benar apa yang dinamakan dengan bissu. Bahkan menjadi bissu begitu mudah. Tak ada ritual khusus, tak ada pembelajaran. “Ini membuat derajat bissu semakin menurun,” katanya. (Eko Rusdianto) 


Catatan: Edisi cetak tulisan ini juga dimuat di Majalah GATRA edisi 30 Maret 2011 dengan beberapa perubahan.