Masa-masa yang ‘Memble tapi Kece’

SEORANG lelaki langsing berwajah pucat lari terbirit, Selasa siang itu. Sepertinya ada yang mengejarnya. Bajunya basah oleh peluh. Ia meloncat; menghindari barang-barang yang menghalangi jalannya. Sesekali berhenti mendadak, mengelakkan benturan dengan orang ramai. Tubuhnya lincah menyusup di sela rapatnya kerumunan pengunjung Pasar Sentral Rappang. 


Lubis, nama lelaki itu, tiba di kolong rumah saya. Mendekat ke kumpulan pemuda yang sejak tadi duduk di ladda-ladda (balai bambu). Para lelaki yang dihampiri itu berdiri serentak. “Magako?” Ayyong bertanya, kenapa sampai ia berlari. 
Nalellungnga’ ana’ rijang pasa!” kata Lubis. Rupanya ia dikejar oleh geng yang biasa berkumpul di bagian utara pasar. 


Seperti diberi aba-aba, Ayyong dan Lubis berlari masuk pasar, diikuti kalangannya. Mendengar kegemparan di bawah kolong, ibu saya segera berteriak, “Ancu! Jangan ikut-ikut!” Ibu meneriaki kakak lelaki saya yang tertua. Tapi tak lama Lubis dkk pulang. Orang yang dicari tak ditemukan. 


Lubis menyebut bahwa ia tak mengenal orang-orang yang memburunya. Namun pengejaran ke utara itu dilakukan atas dugaan: selama ini, hanya anak Matador yang berani mengejar anggota Anpasta, nama geng pemuda yang ada di sekitar rumah saya. 


SEPULANG dari pengejaran, Lubis menanggal dan menjemur baju putih cap Swan tipisnya yang basah karena keringat. Di lehernya menggantung kalung salib perak. Ia Bugis Muslim tulen. Mungkin ia mengenakannya lantaran hanya terpengaruh tren yang diusung Madonna dalam poster-posternya yang mengenakan aksesoris lambang suci umat Nasrani tersebut. Memang di masa itu, Madonna menjadi fenomena di dunia musik. Ia mengundang kecaman berbagai kalangan ketika muncul memakai tanda palang itu dalam video klipnya, Like a Virgin, yang dirilis tahun 1984 dan menduduki tangga lagu Amerika selama enam pekan. 


Untuk ukuran setempat, Lubis memang pemuda yang menarik perhatian. Penampilannya tak pernah jauh dari tren di masa itu. Selain aksesoris salib, ia juga kerap mengenakan jaket kulit sebagai luaran dan oblong tipis bermerek Swan yang dijadikan dalaman. Gaya rambutnya serupa rambut Lupus — kadang pula mengenakan bandana. Tapi style itu dikenal di kalangan pemuda setempat dengan nama model durandurang —sebutan yang merujuk gaya rambut kelompok musik Inggris, Duran-Duran. Sematan itu diperkuat dengan bentuk wajah tirusnya, yang mengingatkan orang pada vokalis band tersebut, Simon Le Bon. 


Lubis bukanlah anak setempat. Lelaki kemayu jago breakdance itu adalah pemuda dari Maroanging, Kabupaten Enrekang, sepuluhan kilometer utara Rappang. Tapi si mata sayu ini merupakan salah seorang anggota Anpasta Maroanging. Anpasta adalah kependekan dari Anak Pasar tapi Awas, yang dibentuk di awal 1980-an. Belakangan Anpasta meluaskan pergaulan mereka ke daerah sekitar, termasuk Maroanging. Anpasta membuka ‘cabangnya’ di sana. Karenanya pula, Lubis leluasa bergaul di kawasan barat pasar dan berhak mendapat perlindungan sebagai salah seorang anggota geng. Apalagi ia memang punya tante, Mama Ombing, yang tinggal di sekitaran tempat mangkalnya itu. 


Begitu hari pasar sepi, sekitar pukul 13.00, para pengangguran penunggu kolong rumah pun bubar. Ada yang pulang ke rumah masing-masing untuk makan siang. Beberapa lainnya yang sudah makan, biasanya makan bakso atau soto ‘jatah preman’ di kedai sekitar pasar, berangkat ke ‘kampus’. 


Sebutan ‘kampus’ di sini tidak merujuk kompleks bangunan untuk kuliah. Entah dari mana mula istilah ini. Namun sebutan tersebut dipakai untuk menyebut bagian bangunan rumah panggung yang ada di kolong. Kampus menjadi semacam kamar terpisah. Luas dan bentuk ‘kampus’ ditata layaknya sebuah kamar, meski biasanya berbohlam redup. 


Dinding papan atau kajang (anyaman bambu) sisi dalamnya bahkan ditutup kertas semen, yang direkat pakai kanji. Di dindingnya kemudian dipenuhi poster-poster idola semacam Madonna, Duran-Duran, sampai The Scorpions. Maka tak heran siang, sore, sampai malam “Still Loving You” atau “The Smoke is Going Down”biasa terdengar. 


FENOMENA yang terjadi pada dekade 1980-an di Rappang, rasa-rasanya, hanya soal kemunculan klub geng remaja di kota ini. “Kalau mau tahu berapa banyak klub remaja di Rappang, hitung berapa banyak dekker yang Anda temui selama di sana,” begitu kata sebuah anekdot. Dekker adalah sisi penahan jembatan kecil gorong-gorong atau tempat duduk semen berhadapan di depan pintu gerbang sebuah rumah. Dudukan ini akan ramai terutama di sore hari, begitu penghuni rumah selesai mandi. 


Entah yang mana datang duluan dan siapa belakangan. Namun fenomena ini sendiri, kurang lebih, tumbuh diiringi lagu tenarnya Obbie Messakh yang berjudul Istilah Cinta. Syairnya begini: 
Romantika Bercinta/ Sungguh aneh ada-ada saja/ Remaja-remaja kini pun pandai beraksi//... Di dalam kamus bercinta/ Selalu saja memakai istilah/ Yang bukan didapat dari guru bahasamu/ /Benci = benar-benar cinta/ Sebel = senang betul/ Gemes = genit-genit mesra/ Suzuki = sungguh-sungguh laki-laki/ Marah = mau-mau tapi ogah/ Malvinas = malu-malu tapi ganas/ Bisnis = bisikan pada si manis/ Kismi = satu kali minta lagi // ... 


Di masa itu pula, bahasa gaul “memble tapi kece” kerap terdengar dari bibir para kawula muda. Mulai dari tangki motor, kaca mobil, sampai buku teka-teki silang pun tiga kata, yang konon ditenarkan oleh Jaja Miharja itu, ada. Tapi dasar bahasa Jakarta, ada saja yang tidak paham. Entah benar atau tidak, ada pula anekdot tentang ini. Ceritanya, seorang pemuda yang berteriak mengejek pemuda lain yang melintas, “Uuuh, memble!” Si pemuda yang diejek tak mau kalah, balas berteriak, “Daripada kau ... kece!” 


Tapi tidak berarti anak muda setempat tidak memproduksi bahasa. Dari mereka lahir istilah ‘Todet’ yang merupakan pembalikan kata ‘Detto’ (tidak), yang biasa dipakai untuk menegaskan keengganan terhadap sesuatu. Belakangan kemudian muncul istilah ‘Subuh pi!” yang peruntukkannya nyaris serupa. 


ENTAH apa yang memicu pertumbuhan perkumpulan remaja di kota ini. Yang pasti, di kitaran pasar, tidak kurang ada enam klub remaja. Di sebelah utara berkibar bendera grup Matador. Pertama kali terdengar di telinga saya terdengar begitu keren. Bahasa apa ya, begitu pikir saya. Tapi sebenarnya kepanjangan nama itu, berdasarkan tuturan anak Anpasta, adalah Manusia Tanpa Dorongan Orang Tua. 


Di bagian timur ada Gios. Saya tidak tahu persis apa kepanjangan empat huruf itu. Tapi ada yang memplesetkannya menjadi Gabungan dan Ikatan Olahraga Sepeda. Saya ragu kepanjangan ini. Pengeliruan ini muncul sebab anggota klub ini adalah anak muda yang terdepan dan terampil di soal atraksi sepeda. Mulai dari jumping(lompat — sampai-sampai ada kata kerja Bugis ‘mappajamping’ yang beredar di warga Rappang sejak itu) sampai angkat ban depan mereka bisa. Kepiawaian angkat ban depan selalu diukur dengan menghitung ‘berapa tiang listrik’ yang mampu dilewatinya. Jarak tiang listrik ke tiang lainnya berkisar 50 meter. Atraksi itu tentu amat butuh stamina, kekuatan, dan keseimbangan yang bagus. Kehebatan seorang pengendara kereta angin pun diukur dengan kepiawaian ‘angkat ban’ itu. 


Di sebelah selatan ada Cobra. Sepertinya klub ini muncul ketika film Cobra yang dibintangi Sylvester Stallone sedang tenar-tenarnya, di paruh terakhir 1980-an. Bahkan tempat mangkal mereka digambari lukisan ular cobra hijau dan tokoh Leiteunant Marion ‘Cobra’ Cobretti yang berkacamata gelap, kaos ketat yang mengentarakan otot, dan mengusung bren (senapan mesin) di tangan kanannya. 


Adapun grup di sebelah barat yang berpangkalan di sekitar rumah saya adalah Anpasta. Mereka inilah yang menguasai pasar. Grup ini didirikan tak lama setelah Pasar Rappang diresmikan Bupati Sidrap Opu Sidik di awal 1980-an. Belakangan nama Anpasta berubah menjadi Anvasta (Anak Veteran Selatan — sesuai nama jalan tempat mereka kongkow-kongkow). Nama ini berubah menjelang dekade 90-an, tepatnya beberapa waktu mendekati acara musik akhir tahun yang digelar di lapangan depan rumah saya. Saya menduga, perubahan itu sebagai siasat mereka untuk ‘berbaik-baik’ ke tetangga karena hendak minta sumbangan, terutama untuk dana konsumsi dan mendatangkan kelompok penghibur. Nama itu seperti diniatkan untuk ‘merunduk’ di depan aparat biar mau memberi restu, izin, juga ‘pembinaan’. 


Di masa itu, hanya pesta perkawinan orang kayalah yang mampu mendatangkan kelompok musik. Di luar dari itu, paling banter even sebesar balapan motor cross nasional. 


Di belakang wilayah Anpasta ada Radur (Rombongan Anak Durhaka). Keduanya sangat dekat. Bisa diandaikan sebagai adik-kakak. Anak Anpasta rerata 18 tahun ke atas. Lepas SMA, banyak anggotanya tak lanjut lagi sekolah ke Makassar. Anggota Radur umumnya masih duduk di bangku SMP-SMA. 
Sebenarnya, Radur adalah nama yang cukup janggal untuk sekelompok pemuda tanggung, yang sebagian besarnya justru aktif sebagai remaja masjid Muhammadiyah Taqwa Rappang. Sehingga tak mengherankan kalau tempat mangkalnya tak jauh-jauh dari masjid tersebut. 


Di antara wilayah Anpasta dan Matador, berdiri Orrel yang punya kepanjanganOrganisasi Remaja Ekonomi Lemah. Karena posisinya di wilayah perbatasan, tak heran kalau anggotanya memilih netral. Meski mereka lebih akrab dengan anak Anpasta. Banyak di antara generasi pertama Orrel dan generasi kedua Anpasta akrab karena teman sepengajian di masa kecil, main sepakbola, bahkan teman satu sekolah dari SD sampai SMA. 


Dominasi Anpasta kemudian diimbangi oleh Matador, Gios, dan Cobra. Ketiganya membuat aliansi untuk mengimbangi Anpasta. Beberapa anggota dari tiga grup itu berteman dan saling menjaga wilayah. Dalam perkelahian massal yang pernah terjadi di lapangan depan rumah itu, anak-anak Anpasta terpaksa mundur karena kalah jumlah. 


DARI sekian klub remaja yang ada, Anpasta dan Matador-lah yang paling sering berkelahi. Cara tawuran mereka layaknya timpuk-timpukan ala mahasiswa Makassar yang selama ini disaksikan lewat televisi. Tampaknya, masalah itu dipicu oleh perebutan lahan. Seorang anggota Anpasta dipukul pentolan Matador karena berani ‘mengambil jatah’ di pedagang yang ada di wilayah kelompok yang kemudian jadi lawan. 


Kurang lebih setahun lalu, kawasan timur Pasar Sentral Rappang itu mendapat pengawalan ketat dari kepolisian. Berdasarkan liputan sebuah stasiun televisi, terjadi tawuran antar kelompok yang menewaskan seorang warga dan empat lainnya luka parah. Tawuran bermula ketika seorang anggota kelompok Matador memalak penjual buah-buahan di depan Pasar Rappang. Ketika dicegah warga, seorang anggota kelompok tersebut memanggil temannya dan melakukan penyerangan. 


Pasar sentral tersebut menjadi jantung kehidupan Rappang. Kota ini memang dikenal sebagai kota pedagang dan sentra perekonomian Sidrap. Hasil pertanian dari Toraja dan Enrekang, yang berada di utara Rappang, terkumpul dan dipasarkan di wilayah ini. Sebagian besar pedagang yang tinggal di pasar berasal dari Enrekang. Mereka menjual bawang merah, kol, salak, gula merah dan lainnya. Petani, nelayan dan petambak dari Pinrang membawa barang mereka ke kota itu karena berjarak hanya 20 kilometer timur Pinrang. Sementara dari Sidrap sendiri, komoditas semacam beras, sayur, ayam, telur, dan barang lainnya juga mengalir masuk ke pasar itu. 


Pasar Sentral terbagi empat kawasan. Ini ditandai dengan trotoar selebar 5 meteran yang terentang di tengahnya, membagi kawasan pasar menjadi empat bagian yang sama luas. Bila perkelahian terjadi, trotoar tersebut menjadi marka yang memberi peringatan agar setiap orang memasang segala indera. Saya sendiri beberapa kali ikut dalam kejar-kejaran atau tawuran. Pemimpin rombongan memperingatkan untuk waspada bila melewati trotoar. Soalnya, los-los yang berjejer rapi itu jadi tempat persembunyian lawan. Wilayah pasar adalah kawasan pertahanan pertama bagi masing-masing kelompok. Bila sudah tidak memungkinkan bertahan, mereka berpencar ke sekitar rumah masing-masing. 


Selain nama-nama yang saya sebut tadi, belakangan kemudian saya tahu juga, di beberapa tempat selain pasar, ada banyak nama perkumpulan. Perkenalan itu melalui beberapa teman, juga tulisan-tulisan yang ditera di tembok, terutama di masa-masa saya duduk di bangku SMA. 


Betapa banyak nama klub dan perkumpulan ditera menggunakan kapur, spidol hingga tip-ex. Coretan itu mudah didapati di pagar sekolah, tembok kelas, bangku, kursi, dekker, sampai coretan di dinding, kayu kusen, jendela, pintu belakang kelas, juga dinding-dinding tersembunyi seperti WC. Nama-nama kelompok itu antara lain: Ladosa (lahir dari orang-orang berdosa), Ladoraca (lahir dari orang-orang kalah), Anpisa (anak pinggir sawah), Mandolay, Chlomank, Bento (Benreng Toko – Samping Toko), sampai Gantz (Gabungan Anak Tansor). Semua grup itu berada di Rappang dan sekitarnya. 


Nama yang belakangan saya sebut agak lucu. Sepanjang ingatan saya, tak ada daerah atau kampung di Rappang bernama Tansor. Belakangan saya tahu kalau Tansor itu kependekan dari ‘Tanah Longsor’. Kok tanah longsor? Lagi-lagi ini ‘Tanah Longsor’ rupanya mengindonesiakan Tanah Maruttungnge; sebuah daerah di bagian barat Rappang yang berada di bahu sungai. Sehabis hujan lebat, air sungai akan meluap dan menghantam jurang kecil di kawasan tersebut yang menyebabkan runtuhnya tanah di Tanah Maruttungnge. 


TAWURAN bukan hanya berskala sesama anak muda Rappang. Perkelahian pun pernah terjadi antara antarkota, Rappang melawan Pangkajene, ibukota Sidrap. Entah apa penyebabnya. Seorang penyiar radio di Makassar, yang besar dan lahir di Pangkajene, pernah mengatakan kalau itu disebabkan ‘rebutan pacar’. Tapi ada anekdot tentang seteru ini. Kabarnya, hal besar itu dipantik oleh masalah hal sepele, yakni batu kilometer! 


Konon anak-anak Pangkajene marah karena batu kilometer yang ada di Sidrap hanya menera ‘RPG’ (Rappang). Padahal ibukota kabupaten penghasil beras ini Pangkajene adanya. Terteranya inisial RPG itu lantaran batu-batu kilometer itu dibuat di masa Rappang masih menjadi ibukota kabupaten. 


Tawuran tak kenal musim itu bukan hanya berlangsung sesama kelompok pemuda. Pemuda dan pihak kepolisian pun pernah terjadi. Bahkan, sepertinya, seluruh kelompok anak muda di Rappang dan daerah sekitarnya seperti Maroanging dan Baranti bersatu berperang batu dengan polisi. 


Ini terjadi di malam Idul Adha pertengahan tahun awal 1990-an silam. Setiap menjelang lebaran, entah Idul Fitri atau Idul Adha, kepolisian akan melakukan penjagaan ketat di beberapa titik penting sepanjang jalan utama di kota kecil ini. Selain berjaga mencegah tawuran sesama kelompok, mereka pun bergadang lantaran balapan liar dan urakan pemuda setempat. Balapan liar sih biasa. Paling-paling cuma balapan itu ujungnya taruhan. Tapi setelah itu, show yang ditunggu-tunggu adalah balapan telanjang. Telanjang bulat? Iya! 


Balapan seperti ini biasa digelar tak lama setelah pawai takbiran dan menjelang tengah malam. Namun biasanya ada saja kericuhan. Karena saling senggol antara kelompok atau dendam. Polisi mencoba menyetop aksi ugal-ugalan mereka. Pencegatan dilakukan. Pemuda tidak terima. Polisi berkeras. Kedua pihak akhirnya bentrok. 


Tembakan peringatan dibalas timpukan batu. Gesitnya serbuan polisi ditanggapi lari mundur yang tak kalah cepat. Kekuatan aparat tertahan oleh kelompok anak muda yang menyatu. Pengejaran polisi pun berbuah. Beberapa pemuda tanggung tertangkap. Mereka diboyong ke kantor polisi. 


Tapi anak muda tidak terima. Mereka murka. Sampai nekat membakar. Salah satu drum deretan toko di jalan poros Makassar-Toraja itu sempat ditumpah isinya. Untungnya, ketika seorang pemuda mencoba menyulutnya, genangan itu tidak berkobar. Isi drum yang menggenang di jalan rupanya minyak pelumas. 


Tak sampai di situ. Mereka malah mendekat dan mengepung kantor polisi, lalu menghujaninya dengan batu. Kaca pun berantakan. Gemuruh batu tumpah ke atap markas polisi. Tak berapa lama, beberapa pemuda tanggung yang tertangkap dilepas. Bukan karena polisi menyerah ditimpuk. Rupanya dalam pengejaran, seorang polisi sempat pula disandera oleh pemuda. Dua pihak kemudian bertukar tahanan. Keesokan harinya, Rappang dipenuhi sampah berupa kertas, puntung dan bungkus rokok, batu kali, batu gunung, dan batang pohon pepaya dan pisang yang dionggok begitu saja di jalan. 


Maklumlah, sidang pembaca budiman, namanya juga masa-masa yang ‘memble’ tapi tak ‘kece’.[]


(Anwar Jimpe Rachman)
Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasi di www.panyingkul.com edisi 06 Februari 2008.


Leave a Response