Film Makassar di Bulan Puasa

“Sayang saya tidak bisa ikut. Bulan depan saya usahakan. Cinta bisa diputar Dewi Bulan kapan saja.”

Saya baru saja menghubungi Rusmin Nuryadin, dedengkot Rumah Media. Saya mengundangnya ikut dalam salah satu agenda gerbios Dewi Bulan, sekaligus minta izin putar film garapannya. Saya bergabung dalam Tanahindie sejak April 2011, sejak mengurus program Gerobak Bioskop Dewi Bulan bersama senior saya, Nur Mumammad Ahmad dan teman seangkatansaya, Hafsani Latief. Hanya saja karena kendala, Sani melewatkan tiga episode terakhir Dewi Bulan.

Untuk episode kali ini, saya bertanggung jawab mengumpulkan materi film lokal Makassar. Ide memutar film-film indie Makassar terselip dalam candaan kakak Anwar Jimpe Rachman di satu malam bergelas-gelas kopi. Film-film yang akan diputar pernah booming di Makassar. Cinta samadengan Cindolo na Tape, besutan Rusmin Nuryadin, Delusi karya tangan terampil sutradara muda bernama Aditya Ahmad dan terakhir milik sutradara dari komunitas FreeMovie asal Ambon, Ronald Renwarin Rey, berjudul No Entry.

Aditya mengonfirmasi ketidakhadirannya. Ia dan Rusmin akan syuting Video Klip band lokal Makassar pada sabtu malam, 13 Agustus 2011, bertepatan dengan turunnya Dewi Bulan. Praktis, hanya Ronald Renwarin Rey yang berkesempatan menyaksikan lolongan Dewi Bulan episode ini.

Malam sebelumnya, di salah satu Warkop tempat teman-teman Kampung Buku sering menghabiskan malam, Rey terlihat sangat antusias mendengar cerita Reysha tentang Gerbios Dewi Bulan.

“Saya su dengar tentang Dewi Bulan sejak beberapa bulan lalu. Saya juga penasaran, kapan bisa datang ke sana. Senang ka’ dapat ini undangan,” timpalnya malam itu. Rey kemudian mengeluarkan sampel film yang akan diputar. Reysha memutar satu-persatu keping DVD tersebut. Hanya satu yang lulus Lembaga Sensor-sensoran Dewi Bulan, No Entry. Tema film besutan Rey terbilang kontroversial. Mulai dari seks bebas, narkoba, trans-genders sampai isu SARA. Jika tema-tema tersebut dikemas dengan bungkusan yang lebih soft, mungkin akan lulus sensor. Namun sebagian besar adegan disajikan dengan gaya vulgar khas Rey. Rey mahfum alasan mengapa dua film lain tak bisa diputar.

“Gambar-gambarnya terlalu berani. Takut nanti digrebek FPI. Hahaha.. lagipula kami akan nembak layar di tengah jalan dan ditonton masyarakat umum. Takutnya mengganggu,” jelas Reysha setengah bercanda.

“Tidak apa-apa. Ini ramadan juga, nanti ada apa-apa,” lanjutnya, tertawa. Pertemuan malam itu ditutup dengan janji Rey mengikutsertakan kru dan cast No Entry.

Halaman Kampung Buku mulai ramai satu jam sebelum Pasar Komunitas digelar. Tiga meja diatur sejajar menghadap jalan utama kompleks perumahan BTN CV Dewi. Barang-barang harga miring, mulai dari pernak-pernik sampai kepingan kaset jadul ditata apik di atasnya. Saya tiba dua jam sebelum kegiatan kedua dimulai, Buka Puisi. Satu agenda khas ramadhan, berbuka puasa bersama di halaman Kampung Buku sambil sental-sentil puisi. Bukber kali ini disponsori langsung oleh Barack Aziz Malinggi. Barack sendiri dikenal sebagai tim sukses lahirnya buku Makassar Nol Kilometer bersama Mansyur Rahim, penasihat teknis Gerbios Dewi Bulan. Selain Barack, mahasiswa fakultas Ilmu Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin juga turun tangan. Lebih dari lima orang mahasiswa memadati Kampung Buku.

Ada kabar buruk dari Rey, ia tak sempat menghadiri rangkaian acara satu ini. Fatah Tuturilino, komposer lagu Hukum Kekekalan Tawa (OST. Aliguka) juga batal hadir. Reysha berpikir nyaris tak mungkin menjalankan kegiatan ini sebab mereka kekurangan narasumber. Sejatinya tidak ada satupun usaha yang gagal, kegiatan tetap berjalan apa adanya. Bincang-bincang berlangsung sambil menikmati suguhan makan malam di halaman Kampung Buku.

Setelah bincang-bincang, pendorong Gerbios harus menunggu selesainya shalat taraweh kurang lebih dua jam. Waktu transisi ini digunakan penonton untuk ngobrol santai di halaman. Beberapa menit kemudian, Pasar komunitas menyepi. Tiba-tiba saja tercipta ruang lapang di halaman Kampung Buku. Tidak sepadat sebelum Buka Puisi. Inilah masa di mana Gerbios bisa kehilangan satu-persatu penonton atau malah menambah lebih banyak penonton. Dewi Bulan telah melolong sebanyak empat kali di Kampung Buku. Penonton yang datang selalu beragam. Biasanya ada yang hilang di tengah-tengah pemutaran. Bisa jadi musababnya mereka kurang nyaman dengan suasana Gerbios. Variasi penonton selama ini juga kurang. Paling-paling mereka, penggiat Tanahindie dan Kampung Buku, dan kenalan-kenalan mereka. Target utama Gerbios, masyarakat sekitar kompleks malah kurang.

Ada berapa kali Reysha ditanyai warga kompleks. “Apa itu rame-rame di Kampung Buku?” Saya menceritakan program mereka ala kadarnya dan mengajak mereka penuh keramahan. Seperti penduduk kompleks kebanyakan, Sabtu malam adalah malam keluar kompleks. tentu ini membuat mereka melewatkan episode Gerbios. Biasanya yang tertinggal di portal kompleks hanya para pemuda yang sering mangkal di warnet dekat Kampung Buku.

Malam itu, mereka mangkal di portal. Saya mencoba ngobrol dengan mereka, mengajak mereka turut menonton. Tiba-tiba melintas anak-anak kompleks menuju masjid. Mereka juga menanyai saya hal yang sama. Cukup lama ngobrol, Reysha berhasil mengajak mereka menengok Pasar Komunitas dan menyentuh rak-rak buku Kampung Buku. Anak-anak tadi pun ikut menjejali halaman rumah. Mereka diberi ComicalMags dan sajian buka puasa. Gerbios belum pernah seramai ini. Penonton bertambah, bak semut hitam mengerumuni sepotong roti bakar rasa cokelat. Layar pun ditembak, Dewi Bulan mulai melolong!

Bioskop Dewi dibuka oleh film Cinta, drama cinta pertama yang menggelitik dan telah memperoleh 10 nominasi di festival film pendek nasional. Selanjutnya, No Entry. Ada sedikit kekuatiran terhadap penonton, mungkin akan kaget dihadapkan pada tema film tersebut, namun sang sutradara memberikan arahan yang menarik sebelum film diputar, membuat penonton bisa menikmatinya dari sudut pandang yang diharapkan Rey. Agar tema lebih beragam, Nur Muhammad Ahmad mengusulkan (Jangan) Ada Kusta di antara Kita, sebuah film dokumenter bikinan M Aan Mansyur yang tergabung dalam kompilasi film In-Docs. Sebagai film pamungkas, Delusi tepat jadi pilihan saya. Dari segi tema dan teknik, film ini terlihat bagus bibit, bebet, bobotnya. Teknik, colour correction, cinematografi, dan casting berpadu dalam bungkus film pendek drama dewasa eksperimental.

Di awal terbentuknyanya Gerbios, Mansyur Rahim membuat akun grup untuk program ini di Facebook dan akun twitter @dewiboelan. Reysha menyempatkan diri membuka dua akun ini. dari twitter, ia mendapati @dewibolen di-mention beberapa kali. Ada yang menanyakan kapan lagi Dewi Bulan melolong dan ada pula yang meminta penjelasan apa itu Gerbios Dewi Bulan. Di Facebook, seorang pemain film menanyakan hal yang sama. Dia berjanji akan menghadiri Gerbios episode 7 bulan September 2011.

Sampai di sini dapat dipelajari bahwa publikasi Gerbios belum maksimal. Pemanfaatan akses dan situs jejaring sosial tidak bisa dijadikan andalan utama. Demikian pula dengan penyebaran isu via sms atau telepon. Masih ada di antara penonton kita yang membutuhkan selebaran berupa pamflet atau brosur. Jika dua jenis media informasi ini dimaksimalkan, tentu Gerbios akan semakin ramai.

Sampai saat ini, sejak tahun 2008, tahun itu salah satu harian kota melancarkan program Cinemalicious, workshop penggarapan film yang digelar dari sekolah ke sekolah. Mulai saat itu lahir puluhan film indie yang mengangkat tema lebih Makassar. Workshop itu ditutup dengan lomba. Satu film berjudul Perempuan disematkan predikat Film Terbaik, karya siswa-siswi kelas tiga Man Model Makassar. Skenario dan sinematografi dirancang sendiri oleh saya.
Geliat perfilman Makassar juga tertangkap di berbagai universitas. Liga Film Mahasiswa Unhas mengadakan Diksar 7 di tahun yang sama. Dan diam-diam, M Aan Mansyur, Rusmin Nuryadin, Arman Dewarti serta Anata Aulia Kautsar bersama Rumah Ide dan komunitas film lainnya sedang menggarap film berjudul Aliguka. Mereka pun tergabung dalam Forum Film Makassar. Aliguka akhirnya menjadi film yang paling banyak ditonton dan diputar selama tahun 2010, dibintangi musisi dan aktor jebolan fakultas Seni UNM, Iip Level dan aktris cantik Fadila Ayu Hapsari.

Akhir tahun 2010, bersama beberapa kru Aliguka, di antaranya Andi Burhamzah, Andi Rio Supriadi, dan Andi Pangerang Maulana, saya menggarap film bergenre drama komersil kedua setelah Aliguka berjudul Perempuan Kami. Film ini mendapat respons yang bagus dari masyarakat dan telah berkali-kali diputar di Maros.

Sejauh ini, menurut M Aan Mansyur komunitas film Makassar dibilang kurang percaya diri. Materi cerita dan sarana sebenarnya ada, namun mereka tak percaya diri menunjukkan tajinya. Tidak bisa dipungkiri, antusiasme penonton Makassar tak sepanas masyarakat di Jawa sana. Apresiasi terhadap karya lokal, jangankan film, dalam berbahasa saja mereka kurang percaya diri. Namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan. Walapun kesannya kurang direspon, toh kaum minoritas penggiat film lokal masih berani menunjukkan kemampuan mereka. Tema Gerbios Dewi Bulan Agustus ini memang berangkat dari wacana tersebut. Menurut Anwar Jimpe Rahman, apresiasi yang kurang kemungkinan besar berasal dari ketidaktahuan mereka mengenai perfilman lokal. Konsep tembak layar Dewi Bulan adalah salah satu cara mendekatkan masyarakat dengan film-film lokal. Ada banyak masyarakat yang ingin nonton tapi tidak tahu nonton di mana. Banyak yang ingin berkomentar, tapi apa yang mesti dikomentari?

[eki]

sepekan setelah Dewi Bulan

Malam minggu itu, Liverpool main pukul 22.00. Saya mendapat pesan seluler dari Bram, seorang kawan lama, kalau dia sudah di Warung Kopi 88. Warkop ini kira-kira 200 meter dari rumah saya di Kompleks CV Dewi.
"Ayo ke warkop, di sana kita nonton sekalian," ajak saya pada Madi agar meninggalkan ruang nonton rumah saya. Madi meninggalkan pertandingan Manchester City versus Everton.
Darmadi adalah penggemar Liverpool. Gemarnya sudah sampai akut. Pada pagi kunjungannya ke Kampung Buku, Madi--panggilan akrab saya mengikuti kawan dan sahabatnya--sudah mengenakan baju merah berlambang klub bola asal kota Beatles itu.
"Orijin nih!" kata Madi, unjukkan label monogram di bagian dalam baju merah cerahnya.
"Siapa yang kasih?" tanya saya, senyum-senyum.
"Ada teman dari Jakarta."
Baju itu mungkin basah dan bau. Pagi sampai siang, Madi membantu saya membersihkan rumah dan memperbaiki beberapa bagiannya. Sorenya dia pamit karena janjian dengan seorang kawannya di Tamalanrea.

Saya menyesal juga memanggil Madi ke Warkop 88 dengan janji 'sekalian menonton'. Tidak ada bentangan layar besar yang biasanya ada bila saya berkunjung ke sana. Mungkin malam tertentu saja pengelola warkop ini memasangnya.

Di sebuah meja, Bram dan dua kawannya sudah menunggu. Bram, sampai kini saya tidak tahu nama lengkapnya. Dia kawan lama yang saya kenal waktu membantu Firman Djamil mempersiapkan perfomance artThe Death After Election, 2007 lalu. Firman Djamil, Bram, dan seorang perempuan bernama Ika mengusung dupa di kepala mereka dan menyeberang Jalan Perintis Kemerdekaan, tepat depan bekas markas Komunitas Ininnawa.

Bram kini menempuh pendidikan magister hukum. Mungkin di Universitas Muslim Indonesia, tempat ia menyelesaikan strata satunya sekaligus tempatnya aktif berteater. Dia sekarang aktif di LBH Makassar. Namun dia tidak ingin ketinggalan isu dunia seni. Untuk itu pula kami janjian, sepekan setelah Gerobak Bioskop Dewi Bulan.

Dalam perbincangan kami di Dewi Bulan, Bram ingin sekali mendengar dan berbagi perihal ruang publik, tema usungan yang kami alami ketika performance art di halaman Komunitas Ininnawa empat tahun lalu.

Pada awal perbincangan kami, Darmadi mewanti-wanti akan minggat untuk menonton Liverpool main sejam lagi. Perbincangan kami lanjutkan.

Kami awalnya berlima saja. Bondan lalu datang. Beberapa saat kemudian Aswin, mahasiswa program magister Ilmu Hubungan Internasional Gadjah Mada Yogyakarta bergabung. Sebelum pertemuan itu, saya memang mengajaknya via sms untuk nimbrung bertukar pendapat tentang ruang publik, topik yang ingin ia jadikan fokus penelitian. Tak saya sangka, Aswin rupanya mengajak juga teman yang lain, Endriadi, seorang dosen luar biasa di HI Unhas. Empat meja kecil Warkop 88 pun kami dempetkan, sebab muncul juga beberapa teman yang lain, seperti Wandi (aktif di AcSI), Arif (teman yang baru datang dari Jakarta), juga Iccang, dan beberapa teman yang hanya duduk di luar untuk keperluan lain.

Bram dan saya mulanya berbasa-basi tentang keadaan teman-teman di Tanahindie, yang setiap bulan mendorong Dewi Bulan. Begitu juga Bram; mengabarkan kesibukannya pasca-performance art dengan Firman Djamil. Kami memang nyaris tidak pernah saling berkabar. Ada dua hal yang mempertemukan percakapan saya dengan Bram, yakni Firman Djamil dan ruang publik.

Basa-basi itu lalu jadi poin masuk kami dalam perbincangan. Dan selanjutnya bergiliran kami memberi tanggapan, membuat anggapan, dan menyebar kesan-kesan tentang pemahaman kami satu-satu soal ruang publik.
"Tapi maaf, kalau Liverpool sudah main, saya harus menyingkir," ujar Madi, memohon izin lebih dulu.

Kata Endri, persoalan ruang publik awalnya hanya ekonomi. Contoh, bagaimana pabrik dibangun di dekat jalan agar leluasa menuju pelabuhan. Bila terjadi macet atau kerusuhan, maka kekuatan-kekuatan politis dikerahkan demi melancarkan segala yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.

Dalam dunia yang lebih senyap, dunia graffiti, Madi mengungkap bahwa perlawanan-perlawanan selalu terjadi di ruang publik. karena, intinya, ruang publik menjadi tempat membuat opini publik. Jika ada kekuatan yang dominan, masyarakat selalu melakukan resistensi. Salah satu jalan dengan melakukan coretan di banyak tempat, sekadar menyampaikan penyadaran bahwa sesuatu hal sedang berlangsung dalam hidup kita (masyarakat).

Saya memberi klarifikasi mengapa peristiwa seni menjadi pintu masuk obrolan ini. Seni kerap menjadi 'tameng' yang ampuh untuk mengajak warga berpartisipasi (baik secara sukarela ataupun tidak sadar masuk) dalam sebuah upaya pengklaiman ruang yang sebenarnya diperuntukkan untuk semua orang.

Obrolan hari itu berakhir sekisar pukul 23.00. Saya perkirakan, Liverpool sudah istirahat dan masuk babak kedua. Setengah jam kemudian saya pulang karena desakan satu hal. Namun Madi tidak beranjak. Mungkin dia lupa kalau mau menonton. Dia bahkan masih tinggal mengobrol dengan Bram dan kawan-kawan.

[jimpe]