Berkomunitas, Berjualan, Berdewibulan

KOMUNITAS sering mendapat cap eksklusif lantaran orang-orang yang ada di dalamnya membatasi pergaulan.


Begitu kata seorang teman, Titin, dalam obrolan saya dalam gelar gerobak bioskop Dewi Bulan, pertengahan Juli lalu. Titin adalah seorang aktivis Linonipi. Hari itu, Linonipi yang berarti dunia mimpi dalam bahasa Bugis, mengambil bagian dalam Pasar Komunitas, rangkaian acara yang digelar sore sebelum pemutaran film pada malam harinya, yang diperuntukkan bagi beberapa komunitas yang datang menjajakan dagangan mereka, mulai cinderamata buatan sendiri, pakaian bekas, sampai buku diskon.


Linonipi dulunya bernama Idefix, berdiri pada 2009. Mereka menyewa rumah dengan cara tidak biasa untuk ukuran umum. Mereka mengundang partisipasi kawan-sahabat untuk mengambil peran dalam upaya menyewa rumah itu. Beberapa yang berperan itu adalah kalangan punk. Mereka menggelar konser tanpa panggung yang mau tampil dibayar-terserah berapa.


Beberapa kritik yang menerpa sebuah komunitas, menurut Titin, seperti anggapan adanya eksklusivitas sangat berkaitan dengan "Sesuatu tentang 'suka atau tidak suka, nyaman atau tidak nyaman'," ujar Titin.


Percakapan ini berlangsung pada saat tepat. Ini bisa menjadi semacam refleksi, terutama bagi para pengelola Dewi Bulan. Khusus Makassar, segala isu atau pembicaraan berkaitan dengan kota ini, selalu tidak memadu. Ini bukan soal keseragaman. Tapi sebagai upaya membangun komunikasi antarkomunitas agar kekuatan isu yang digulirkan bersama atau sendiri-sendiri lebih mendobrak.


Bukan rahasia lagi, tantangan terberat komunitas di Makassar, sejauh ini, dalam pandangan saya adalah jalinan komunitas antara sesama komunitas. Mereka belum menundukkan diri mereka sendiri. Masing-masing asyik masyuk pada kegemaran sendiri.


Pasar Komunitas sendiri tidak bertujuan mulia. Acara itu hanya memulai sebuah pertemuan antar simpul komunikasi, dan untuk tahu siapa yang sedang berkegiatan di mana. Sesimpel itu.


Sore itu, Linonipi membawa zine dan buku diskon mereka. Ada pula pakaian bekas dari beberapa anggota komunitas lain. Tak lupa Airin Handicrabby membawa kreasi kerajinan mereka, Abba Artstudio juga membawa beberapa lukisannya. Teman-teman dari Kiridepan datang membawa sebuah film dokumenter seorang munsyi bahasa Bugis. Beberapa teman wartawan juga ikut membantu dan mengotori tangan mereka menjelang sampai selesainya acara. Bau debu di musim kemarau, tersibak langkah-langkah tergesa karena mengangkat barang, tercium dengan lekas.  


PUKUL 19.00 Wita. Belokan jalan di depan Kantor Lurah Pandang, Kompleks BTN CV Dewi, Panakkukang tertutup. Sebuah layar pancar dan seperangkat perangkat suara menjadi ‘portal’, penahan laju kendaraan. Dua puluh kursi plastik milik Kantor Lurah dipakai penonton menyaksikan beberapa acara malam itu. Ada pula yang menonton santai dari atas kendaraan roda duanya.


Sebelum memutar film, para penonton yang sudah duduk manis di Bioskop Dewi Bulan edisi Juli 2011, menikmati penampilan dari Windah dan Japan Lover Community. Mereka bermusik akustik membawakan tiga lagu.


Menyenangkan melihat mereka berputar begitu. Apalagi sebelumnya, Pak Lurah memberi izin lisan untuk menggelar acara tersebut. Bahkan pihak kantor kelurahan yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Panakkukang itu juga meminjami dua puluh kursi plastik. 
Sebenarnya sejak lama pula, diam-diam, pengelola Gerobak Bioskop Dewi Bulan punya niat menutup jalan itu. Sebelum ada acara begini, jalan itu adalah jalan yang cukup berbahaya karena membengkok, membuat pengendara tidak pernah hati-hati. Anak-anak banyak bermain di situ. Kendaraan yang lalu lalang masuk dan keluar cukup ramai. Mungkin karena pemilik rumah di kawasan perumahan itu rerata memiliki kendaraan roda empat. Bahkan bila Sabtu malam tiba, pengendara roda dua tidak segan menggeber gas. Sayangnya, sekali sebulan saja Dewi Bulan datang menolong begitu.[]


[thejimpe]

Leave a Response